Definisi ontologi, epistimologi dan aksiologi
oleh Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
I. Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah manusia, pemikiran filosofis senantiasa
berkembang. Hal itu dikarenakan pemikiran merupakan hal yang paling
mendasar dalam kehidupan manusia, bahkan merupakan ciri khas manusia.
Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari anugerah akal yang dimiliki
oleh manusia. Pemikiran filosofis meniscayakan kelahiran filsafat
sebagai induk dari semua ilmu. Di antara corak pemikiran manusia adalah
pengetahuan tentang wujud, awal bermulanya hingga akhirnya. Oleh karena
itu, buah pemikiran dari manusia melahirkan berbagai macam aliran dalam
filsafat yakni, aliran empirisme, rasionalisme, idealisme, pragmatisme,
eksistensialisme, positivisme, vitalisme, strukturalisme,
post-strukturalisme dan lain-lain.
Selain itu, permasalahan yang menjadi objek kajian (pembahasan) dalam
filsafat mengalami perkembangan yang signifikan. Filsafat tidak hanya
berhenti pada permasalahan wujud, tetapi juga merambah pada pembahasan
berkenaan dengan ilmu. Selain itu, filsafat juga menyentuh tataran
praktis, terutama berkaitan dengan moral. Perkembangan tersebut
merupakan implikasi logis dari perkembangan pola pikir manusia itu
sendiri. Hal tersebut tidak lain merupakan upaya untuk menemukan
“kebenaran”.
Pencarian terhadap kebenaran seiring dengan tujuan dari filsafat itu
sendiri, yakni untuk mencari kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain,
mengetahui segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya (problem
ontologis). Kemudian, timbul pertanyaan setelah mencari “Apa itu
kebenaran?” yaitu “Bagaimana kita bisa mendapatkan pengetahuan yang
hakiki itu atau sesuatu yang ada sebagaimana adanya (kebenaran)?
Persoalan ini merupakan problem epistemologis. Selanjutnya, setelah kita
mengetahui kebenran dan cara untuk mendapatkannya, muncul pertanyaan
untuk apa pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, pemikiran selanjutnya
berkaitan dengan pengaplikasian ilmu yang telah didapatkan pada tataran
praktis. Ini disebut dengan problem aksiologis, artinya apakah ilmu
pengetahuan yang didapat itu bisa diterapkan untuk kemaslahatan umat
atau justru sebaliknya, terutama kaitannya dengan moralitas. Singkatnya,
wilayah ontologi bertanya tentang “apa” wilayah epistemologi bertanya
tentang “bagaimana” sedangkan, wilayah aksiologi bertanya tentang “untuk
apa”.
Tiga problem filosofis inilah —ontologi, epistemologi dan aksiologi—
yang hingga kini masih menimbulkan perdebatan. Hal itu dikarenakan
masing-masing aliran filsafat memiliki sudut pandang tersendiri
berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Oleh karena itu, pembahasan
mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi topic penting pembahasan
penting dalam dunia Filsafat. Hal inilah yang menjadi alasan bagi
penulis untuk mengetengahkan pembahasan tersebut dalam makalah ini.
II. Pembahasan
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan)
yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu
merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu.
Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam
dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis
yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi
filsafat ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih
merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu
alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang
bersifat otonom. Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara
filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara
ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai
ciri-ciri keilmuan yang sama.
Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab
beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti: Objek apa yang
ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut?
Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa
ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar
kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu
sendiri? Apakah kriterianya? Cara atau sarana apa yang membantu kita
dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Untuk apa pengetahuan
yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan
objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan
antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah
dengan norma-norma moral atau profesional?
Jika disimpulkan berbagai macam pertanyaan di atas maka yang pertama
adalah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah ontologis.
Kedua, masuk dalam wilayah kajian epistemologis. Sedangkan yang ketiga
adalah problem aksiologis. Semua disiplin ilmu pasti mempunyai tiga
landasan ini. Di bawah ini penulis akan memaparkan sekilas pembahasan
mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.
A. Ontologi
“Secara terminologi, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu on atau
ontos yang berarti “ada” dan logos yang berarti “ilmu”. Sedangkan
secara terminologi ontologi adalah ilmu tentang hakekat yang ada sebagai
yang ada (The theory of being qua being). Sementara itu, Mulyadi
Kartanegara menyatakan bahwa ontology diartikan sebagai ilmu tentang
wujud sebagai wujud, terkadang disebut sebagai ilmu metafisiska.
Metafisika disebut sebagai “induk semua ilmu” karena ia merupakan kunci
untuk menelaah pertanyaan paling penting yang dihadapi oleh manusia
dalam kehidupan, yakni berkenaan dengan hakikat wujud.
Mulla Shadra berpendapat ‘Tuhan sebagai wujud murni’. Hal ini dibenarkan
oleh Suhrawardi bahwa alam merupakan emanasi. Alam merupakan
manifestasi (tajalli). Sedang Plato berpendapat bahwa cunia yang
sebenarnya adalah dunia ide. Dunia ide adalah sebuah dunia atau pikiran
univewrsal (the universal mind). Aristoteles tidak menyangsikan pendapat
gurunya (Plato), hanya saja dia lebih percaya bahwa yang kita lihat
adalah riil. Sedangkan Thales beranggapan bahwa sumber dari segala
sesuatu adalah air. Kita tidak tahu pasti apa yang dimaksudkannya dengan
itu, dia mungkin percaya bahwa seluruh kehidupan berasal dari air dan
seluruh kehidupan kembali ke air lagi ketika sudah berakhir.
Yang termasuk dalam pembahasan ontologi adalah fisika, matematika dan
Metafisika. Fisika sebagai tingkatan yang paling rendah, matematika
sebagai tingkatan tengah-tengah sedangkan teologi sebagai tingkatan yang
paling tinggi. Alasan pembagian tersebut adalah karena ilmu itu ada
kalanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat diindera, yaitu sesuatu
yang berbenda, yaitu fisika. Ada kalanya berhubungan dengan benda tetapi
mempunyai wujud tersendiri, yaitu matematika. Dan ada yang tidak
berhubungan dengan suatu benda yaitu metafisika.
Ontologi juga sering diidentikkan dengan metafisika, yang juga disebut
dengan proto-filsafat atau filsafat yang pertama atau filsafat
ketuhanan. Pembahasannya meliputi hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan,
sebab dan akibat, substansi dan aksiden, yang tetap dan yang berubah,
eksistensi dan esensi, keniscayaan dan kerelatifan, kemungkinan dan
ketidakmungkinan, realita, malaikat, pahala, surga, neraka dan dosa.
Dengan kata lain, pembahasan ontologi biasanya diarahkan pada
pendeskripsian tentang sifat dasar dari wujud, sebagai kategori paling
umum yang meliputi bukan hanya wujud Tuhan, tetapi juga pembagian wujud.
Wujud dibagi ke dalam beberapa kategori, yakni wajib (wajib al-wujud),
yaitu wujud yang niscaya ada dan selalu aktual, mustahil (mumtani’al
wujud) yaitu wujud yang mustahil akan ada baik dalam potensi maupun
aktualitas, dan mungkin (mumkin al-wujud), yaitu wujud yang mungkin ada,
baik dalam potensi maupun aktualitas ketika diaktualkan ke dalam
realitas nyata.
Persoalan tentang ontologi ini menjadi pembahasan utama di bidang
filsafat, baik filsafaf kuno maupun modern. Ontologi adalah cabang dari
filsafat yang membahas realitas. Realitas adalah kenyataan yang
selanjutnya menjurus pada suatu kebenaran. Bedanya, realitas dalam
ontologi ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan: apakah sesungguhnya
realitas yang ada ini; apakah realitas yang tampak ini suatu realita
materi saja; adakah sesuatu di ballik realita itu; apakah realita ini
terdiri dari satu unsur (monisme), dua unsur (dualisme) atau serba
banyak (pluralisme).” Di bawah ini adalah berbagai macam pandangan
tentang ontologi.
a. Monisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu
hanya satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai
sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani.
Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri.
Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan
menentukan perkembangan yang lainnya. Istilah monisme oleh Thomas
Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke
dalam dua aliran yaitu materialisme dan idealisme.
Materialisme menganggap bahwa yang benar-benar ada hanyalah materi.
Sedangkan ruh atau jiwa bukanlah suatu kenyataan yang bisa berdiri
sendiri bahkan ia hanya merupakan akibat saja dari proses gerakan
kebenaran dengan salah satu cara tertentu. Materialisme sering juga
disebut dengan naturalisme artinya bahwa yang benar-benar ada hanyalah
alam saja. Sedangkan yang di luar alam tidaklah ada. Aliran pemikiran
ini dipelopori oleh para filosof pra-sokratik seperti Thales,
Anaximandros, Anaximenes, Democritos dan lainnya. Thales misalnya
beranggapan bahwa unsur dari semua makhluk hidup adalah air. Sedangkan
Anaximandros beranggapan bahwa alam semesta ini berasal dari apeiron
artinya “yang tak terbatas” yaitu yang bersifat ilahi, abadi, tak
terubahkan dan meliputi segalanya. Anaximenes beranggapan lain, bahwa
prinsip yang merupakan asal usul segala sesuatu adalah udara. Dan
Democritos menganggap bahwa alam ini tersusun dari atom-atom yang tak
terhingga jumlahnya.
“Sedangkan sebagai lawan dari materialisme yaitu idealisme yang berarti
juga spiritualisme berarti serba cita, sedang spiritualisme berarti
serba ruh. Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir
dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka
ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu
sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu
hanyalah suatu jenis dari penjelmaan ruhani.”
“Perintis dari aliran ini adalah Plato yang selanjtunya akan
dikembangkan oleh George Barkeley, kemudian oleh Kant, Fichte, Hegel
hingga Schelling. Menurut Plato realitas seluruhnya seakan-akan terdiri
dari dua “dunia”. Satu “dunia” mencakup benda-benda jasmani yang
disajikan kepada panca indera. Pada taraf ini diakui bahwa semuanya
tetap berada dalam perubahan. Bunga yang kini bagus, keesokan harinya
sudah layu. Lagi pula dunia inderawi ditandai oleh pluralitas. Selain
bunga tadi, masih ada banyak hal yang bagus juga. Harus diakui juga
bahwa di sini tidak ada sesuatu pun yang sempurna. Di samping “dunia”
inderawi itu terdapat satu “dunia” lain, suatu dunia ideal atau dunia
yang terdiri atas ide-ide. Dalam dunia ideal ini sama sekali tidak ada
perubahan. Semua ide bersifat abadi dan tak terubahkan. Dalam dunia
ideal tidak ada banyak hal yang bagus, hanya ada satu ide “yang bagus”.
Demikian halnya dengan ide-ide yang lain. Dan setiap ide-ide bersifat
sama sekali sempurna.” Oleh sebab itu, menurut Plato yang benar-benar
real itu hanyalah idea atau dunia ide sedangkan yang materi merupakan
pengejawantahan dari ide.
Dalam dialog Politeia yang sangat masyhur Plato bercerita mitos tentang
gua. Ia menggambarkan kehidupan di dunia ini ibarat tahanan dalam gua
yang hanya mempunyai pengalaman di dalam gua saja. Sebaliknya mereka
tidak mengetahui realitas di luar gua yang nyata adanya. Baru ketika
mereka keluar dari gua mereka baru percaya bahwa ada realitas selain
pengalaman yang mereka lihat selama di dalam gua. Artinya gua itu adalah
dunia yang disajikan kepada panca indera kita. Kita menerima semua
pengalaman secara spontan begitu saja. Padahal sebenarnya pengalaman
inderawi itu tak lebih dari sekedar bayang-bayang semata.
b. Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat
sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda
dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh dan ruh bukan
muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu
masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi.
Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang
paling jelas tentang adanya kerja sama ini kedua hakikat ini adalah
dalam diri manusia.
Tokoh paham ini adalah Rene Descartes. Sebagai pendobrak filsafat modern
Descartes mempunyai concern yang jauh lebih rumit. Ia tidak lagi
melihat alam yang secara terus-menerus dijadikan objek kajian dalam ilmu
pengetahuan. Lebih jauh lagi ia melihat relasi antara subjek yang
mengetahui dengan objek yang diketahui. Dengan demikian ia memosisikan
manusia tidak hanya sebagai subjek saja tetapi sekaligus sebagai objek.
Pertanyaannya adalah apakah pengetahuan yang kita miliki itu karena
memang ada realitas di luar sana atau justru karena faktor keberadaan
manusia sebagai subjek yang berpikir. Diktum Descartes Cogito Ergo Sum
“aku berpikir maka aku” ada jelas sekali memosisikan manusia sebagai
subjek berpikir yang bebas. Karena saya berpikir maka saya menjadi ada
demikian realitas yang lain menjadi ada pula. Manusia merupakan subjek
yang sadar akan keberadaan dirinya. Paham inilah yang kemudian menjadi
cikal bakal aliran eksistensialisme.
c. Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segala macam bentuk merupakan kenyataan.
Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam
bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and
Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam
ini tersusun dari unsur banyak, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh
aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang
menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat
unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah
William James seorang filosof dan psikolog kenamaan asal Amerika. Ia
berpendapat bahwa dunia ini terdiri dari banyak kawasan yang berdiri
sendiri. Dunia bukanlah suatu universum, melainkan suatu multi-versum.
Dunia adalah suatu dunia yang terdiri dari banyak hal yang beraneka
ragam atau pluralis.
d. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada.
Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternative yang positif.
Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev dalam novelnya
Fathers and Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Dalam
novel itu Bazarov sebagai tokoh sentral mengatakan lemahnya kutukan
ketika ia menerima nihilisme. Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah
ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Georgias yang
memberika tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu
pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. Kedua, bila sesuatu
itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ini disebabkan oleh pengindraan itu
sumber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam
semesta ini karena kita telah dikungkung oleh dilema subjektif. Ketiga,
sekalipun realitas itu dapat diketahui ia tidak akan dapat kita
beritahukan kepada orang lain.
e. Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat
benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnosticisme
berasal dari bahasa Yunani yaitu agnostos yang berarti “unknown”. A
artinya not dan no artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum
dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya
kenyataan yang berdiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas
selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat
transcendent.” Beberapa tokoh aliran ini misalnya Soren Kiekegaar,
Heidegger, Sartre, dan Jasper.
Masalah ontologi ini semakin lama semakin berkembang tidak hanya di
dunia filsafat Barat tetapi juga di dunia filsafat Islam. Misalnya
dalam Islam kita kenal ada aliran Isyraqi dengan tokohnya Suhrawardi dan
Hikmah Mutaalliyah oleh Mulla Sadra. Suhrawardi misalnya
mendiskripsikan realitas ini bagaikan cahaya yang mempunyai gradasi dari
sumber cahaya itu sendiri yang paling terang hingga yang paling lemah.
Sumber cahaya itu adalah Tuhan dan cahaya yang semakin meredup itu
bagaikan ciptaan-Nya yang bermacam-macam dari yang paling sempurna
hingga yang paling rendah. Sedangkan Mulla Sadra terkenal dengan
pandangan Asalat al-Wujud dan Wahdat al-Wujud. Sadra beranggapan bahwa
yang primer itu adalah wujud. Tanpa wujud segala sesuatu tidak akan
pernah ada. Dan wujud dari semua hal adalah sama. Oleh sebab itu ia
meyakini kesatuan wujud (Wahdat al-Wujud). Sedangkan yang membuat
sesuatu itu berbeda dengan yang lain adalah karena aksidennya seperti
warna dan lainnya.
Masalah ontologis memang menjadi perhatian yang paling serius dalam
filsafat ilmu. Sebab ia bertanggungjawab atas kebenaran dari suatu ilmu
itu. Oleh sebab itu, ia tidak berbicara tentang apa yang tampak tapi apa
yang nyata. Sebab penampakan itu belum tentu sesuai dengan
kenyataannya.. Wilayah ontologi bukan berbicara pada tataran penampakan
tapi kenyataan. Mampu mengetahui kenyataan yang hakiki itulah sebagai
ilmu pengetahuan yang valid. Jadi, pembahasan wujud dalam ontologi
merupakan realitas mutlak dan lawan dari ketiadaan. Wujud dalam hal ini
mencakup segala hal, mulai dari Dzat Ilahi, realitas-realitas abstrak
dan material, baik substansi maupun aksiden dan baik esensi maupun
keadaan.
B. Epistemologi
Jika kita berbicara tentang ilmu pengetahuan, apakah anda pernah
memikirkan apa itu pengetahuan? Pastinya anda menganggap bahwa saya
orang yang aneh. Kalau saya bertanya, apakah kita tahu? Pastinya kita
semua tahu. Tentang nama kita sendiri, Jakarta sebagai ibu kota
Indonesia, Manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan bahwa 2+2 =
4. Sebuah lompatan drastis yang dilakukan Socrates pada zamannya, dan
mungkin sampai sekarang ini masih, dengan pernyataannya “apa yang saya
ketahui adalah apa yang tidak saya ketahui” bagaimana akal kita bisa
menerima pernyataan yang kontradiksi ini?
Akar permasalahan adalah pengetahuan yang rupanya menuntutut sejenis
kepastian tertentu yang tidak dimiliki oleh kepercayaan yang biasa.
Tetapi sekali saja anda bertanya, apa yang akan membenarkan kepastian
ini, anda mulai merasakan sangatlah sulit menemukan jawabannya.
Mudah mengetahui mengapa begitu banyak pemikir memperdebatkan
pengetahuan yang menuntut adanya sebuah kepastian. “Mengetahui” bisa
kita sebut dengan kata yang sukses. Demikian dengan kata “belajar”.
Untuk mengetahui seseorang telah mempelajari sesuatu, sama denga
mengatakan mereka telah mempelajari sesuatu dengan sukses dan kini telah
menyerap apa saja yang telah mereka pelajari. (mengatakan mereka sedang
belajar jelas tidak menunjukkan bahwa mereka telah menguasai secara
sempurna, hanya sedang mengejar kesempurnaan itu. Misal; anda sedang
mempelajari aritmatika, apakah bisa dikatakan anda menguasai
aritmatika?). kita bisa mengatakan bahwa seseorang telah sukses dengan
apa yang telah mereka pelajari apabila mereka dapat menyatakan kembali
apa yang telah mereka peroleh di masa lalu.
Epistemologi merupakan tahapan berikutnya setelah pembahasan ontologi
dalam filsafat. “Istilah epistemologi dipakai pertama kali oleh J.F.
Feriere yang maksudnya untuk membedakan antara dua cabang filsafat,
yaitu epistemologi dan ontologi (metafisika umum). Kalau dalam
metafisika pertanyaannya adalah apa yang ada itu? Maka pertanyaan dasar
dalam epistemologi adalah apa yang dapat saya ketahui?”
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme dan logos. Episteme
biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan pikiran,
kata, atau teori. Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori
pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang
dalam bahasa Inggrisnya menjadi theory of knowledge.
Dengan kata lain, epistemologi adalah bidang ilmu yang membahas
pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran kebenarannya.
Isu-isu yang akan muncul berkaitan dengan masalah epistemologi adalah
bagaimana pengetahuan itu bisa diperoleh? Jika keberadaan itu mempunyai
gradasi (tingkatan), mulai dari yang metafisik hingga fisik maka dengan
menggunakan apakah kita bisa mengetahuinya? Apakah dengan menggunakan
indera sebagaimana kaum empiris, akal sebagaimana kaum rasionalis atau
bahkan dengan menggunakan intuisi sebagaimana urafa’ (para sufi)? Oleh
sebab itu yang perlu dibahas berkaitan dengan masalah ini adalah tentang
teori pengetahuan dan metode ilmiah serta tema-tema yang berkaitan
dengan masalah epistemologi.
Berbicara tentang asal-usul pengetahuan maka ilmu pengetahuan ada yang
berasal dari manusia dan dari luar manusia. Pengetahuan yang berasal
dari manusia meliputi pengetahuan indera, ilmu (akal) dan filsafat.
Sedangkan pengetahuan yang berasal dari luar manusia (berasal dari
Tuhan) adalah wahyu. Pembahasan epistemologi meliputi sumber-sumber atau
teori pengetahuan, kebenaran pengetahuan, batasan dan kemungkinan
pengetahuan, serta klasifikasi ilmu pengetahuan.
1. Sumber-Sumber Pengetahuan
Salah satu pokok pembahasan epistemologi adalah mengenai sumber-sumber
pengetahuan. Dengan fakultas apa manusia mencapai pengetahuan?
Bagaimanakah nilai pengetahuan yang diperoleh manusia? Sampai batasan
mana manusia memeroleh pengetahuan? Pertanyaan-pertanyaan ini terkait
erat dengan sumber-sumber pengetahuan.
Apa saja sumber-sumber pengetahuan? Murtadha Muththahari mengatakan
bahwa sumber pengetahuan tidak hanya rasio dan hati, melainkan alam dan
sejarah. Sedangkan M. Taqi Mishbah Yazdi lebih menekankan fakultas
indriawi dan akal sebagai sumber pengetahuan. Adapun fakultas hati,
dalam mencapai pengetahuan, merupakan ranah ‘irfan bukan filsafat.
Agaknya karena alasan inilah bahwa fakultas hati (qalb, fu’ad) merupakan
pembahasan ‘irfan bukan filsafat, kita bisa memahami pandangan Yazdi
yang tidak begitu menekankan daya hati dalam epistemologi—yang merupakan
cabang filsafat. Ada juga yang menganggap bahwa sumber pengetahuan yang
hakiki (primer) adalah wahyu sedangkan daya-daya lain lebih sebagai
sumber sekunder.
Setidaknya ada tiga sumber pengetahuan yaitu 1) akal; 2) indriawi; dan
3) hati (intusi, qalb, fu’ad). Adapun wahyu, dalam hal ini wahyu yang
dikodifikasikan dalam bentuk teks (kitab suci), tidak dimasukkan sebagai
sumber pengetahuan. Karena kitab suci merupakan teks, yang akan
berbicara ketika seseorang membacanya, maka pemahaman seseorang atas
teks-teks suci tersebut yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan
(Suteja, 2006).
Begitu juga dengan sejarah maupun alam. Sebab alam untuk menyampaikan
pengetahuan membutuhkan penafsiran dari sang pengamat, walaupun struktur
pengetahuan tersebut tidak memisahkan antara sang penahu dengan yang
diketahui, tetap saja ia meniscayakan kemampuan manusia untuk menangkap
pengetahuan tersebut. Alam sebagai alam luaran ditangkap dengan fakultas
indriawi, jadi, pemahaman fakultas indriawi yang dimasukkan sebagai
sumber pengetahuan atau pemahaman atasnyalah yang dimasukkan sebagai
sumber pengetahuan.
a. Indera
Salah satu sumber ilmu pengetahuan adalah indera. Manusia bisa
mendapatkan pengetahuan dengan menggunakan indera yang dimilkinya.
Dengan mata manusia bisa melihat, dengan hidung kita bisa mencium,
dengan kulit kita bisa meraba, dengan telinga kita bisa mendengar dan
dengan lidah kita bisa merasakan. Jadi, yang bisa ditangkap oleh indera
adalah benda-benda yang sifatnya fisik. Di luar fisik indera tidak mampu
menangkapnya atau mengetahuinya.
Aliran dalam filsafat yang mengatakan bahwa manusia memperoleh
pengetahuan melalui indera disebut dengan empirisme. Aliran ini
berpendapat, bahwa empirisme atau pengalamanlah yang menjadi sumber
pengetahuan, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Akal bukan jadi
sumber pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah
bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang diterapkan
adalah induksi. Para Filosof empirisme antara lain John Locke, David
Hume dan William James. David Hume termasuk dalam empirisme radikal
menyatakan bahwa ide-ide dapat dikembalikan pada sensasi-sensasi
(rangsang indera). Pengalaman merupakan ukuran terakhir dari kenyataan.
Wiliam James mengatakan bahwa pernyataan tentang fakta adalah hubungan
di antara benda, sama banyaknya dengan pengalaman khusus yang diperoleh
secara langsung dengan indera.
John Locke dengan teori tabula rasanya mengatakan bahwa manusia itu
ketika lahir bagaikan kertas putih tanpa goresan apa pun artinya ia sama
sekali belum memiliki pengetahuan. Baru kemudian ia mendapatkan
pengetahuan dengan menggunakan panca inderanya untuk mengenali
objek-objek yang ada di sekelilingnya. Begitu seterusnya hingga semua
pengalaman dalam hidupnya tersimpan dalam memori pikirannya. Metode
ilmiah yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan empiris ini adalah
eksperimentasi atau kalau di dalam Islam kita kenal metode tajribi.
b. Akal
Akal menjadi sumber ilmu pengetahuan selanjutnya setelah indera. Akal
semakin diperhitungkan sebagai sumber pengetahuan karena keterbatasan
kemampuan yang dimiliki oleh indera yang hanya sebatas pada benda-benda
fisik saja. Padahal di luar fisik masih terhampar luas samudera
pengetahuan. Selain itu juga pengetahuan inderawi cenderung menempatkan
antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui sama-sama
hadir artinya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Jika demikian
sungguh manusia akan mengalami kerepotan. Misalnya jika kita tidak
mengenal pengetahuan matematis—sebagai salah satu produk ilmu
akal—seseorang akan kesulitan dalam melakukan perhitungan. Tidak mungkin
kita menghadirkan benda-benda dalam jumlah yang banyak karena hal itu
akan menyulitkan. Maka cukuplah dengan menggantinya dengan konsep-konsep
angka dalam matematika.
Akal dengan kemampuannya bisa membedakan antara mana yang salah dan mana
yang benar. Selain itu juga akal bekerja dengan menggunakan hukum-hukum
logika yang diakui kebenarannya. Akal dengan tegasnya bisa menunjukkan
kelemahan empiris sebagai sumber kebenaran. Misalnya ketika sebatang
kayu dicelupkan ke dalam air, kayu tersebut oleh indera akan tampak
membengkok. Tapi apakah benar kayu tersebut mengalami pembengkokan
setelah dicelupkan ke dalam air. Secara rasional tentu saja tidak
mungkin melihat karakter kayu itu bukan benda yang mudah bengkok apalagi
hanya dicelupkan ke dalam air. Di sinilah akal diakui sebagai sumber
kebenaran. Dan tentu saja banyak bukti yang lain. Faham filosofis yang
yang menjadikan akal sebagai sumber pengetahuan disebut rasionalisme.
Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang diperoleh melalui
akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang
perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai oleh semua pengetahuan ilmiah.
Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang didapat
oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran dari pada dirinya sendiri,
yaitu atas dasar asas pertama yang pasti. Metode yang diterapakan adalah
deduktif. Teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti. Di antara para
filosof rasionalis adalah Rene Descartes, B. Spinoza, dan Leibniz.”
Rasionalisme memakai prinsip koherensi dalam pembenarannya. Jadi apa
yang benar adalah apa yang koheren dengan akal. Metode ilmiah yang
dipakai adalah metode burhani.
Descartes merupakan filosof pendobrak dalam tradisi kefilsafatan Barat.
Ia dianggap sebagai bapak filosof modern. Gagasannya yang paling
monumental adalah Cogito Ergo Sum “aku berpikir maka aku ada”. Sejak
itulah akal benar-benar mendapatkan tempat yang agung sebagai sumber
pengetahuan. Manusia mempunyai posisi yang sangat dominan sebagai subjek
yang berpikir karena ia mempunayi akal. Ia adalah subjek yang sadar
akan keberadaan dirinya sendiri dan keberadaan dunia di sekitarnya.
Berawal dari kesangsian dirinya akan segala hal, ia berusaha membangun
landasan filososif tentang kebenaran yang tak kuat. Ia berpikir bahwa
segala sesuatu bisa kita sanksikan. Bahkan keberadaan dirinya sendiri ia
meragukannya. Tapi ada satu hal yang tidak mungkin bisa ia sanksikan
bahwa ia dalam keadaan sanksi itu sendiri. Semakin ia sanksi semakin ia
yakin akan kebenaran kesanksian atas dirinya dan semakin pula ia yakin
akan keberadaan dirinya. Dari sinilah kemudian Descartes baru mengakui
akan keberadaan yang lain. Namun bagaimana jika manusia itu berhenti
berpikir, ketika dalam keadaan tidur misalnya? Descartes mengatakan
bahwa masih ada Tuhan yang selalu hidup, yang tidak pernah berhenti dari
semua aktivitasnya.
c. Intuisi
Jika indera dan akal mampu digunakan untuk memperoleh pengetahuan maka
demikian halnya dengan intuisi. Bahkan pengetahuan yang berasal dari
intuisi inilah yang diakui kebenarannya. Sebab indera dan akal hanya
mampu mendiskripsikan, melukiskan dan menganalisa sedangkan intuisi bisa
menghadirkan pengetahuan secara langsung ke dalam diri seseorang. Maka
pengetahuan inderawi dan akal bisa disebut sebagai pengetahuan ushuli
artinya pengetahuan perolehan yang didapat melalui perantara. Sedangkan
pengetahuan intuisi merupakan pengetahuan hudluri karena objek dari ilmu
itu sendiri hadir ke dalam diri subjek yang mengetahui tanpa sebuah
perantara apapun. Sehingga pengetahuan hushuli cenderung rentan terhadap
kesalahan. Misalnya saja ketika ada yang tidak benar dengan indera
maupun akal kita. Sebaliknya pengetahuan intuisi tidak diragukan lagi
kebenarannya.
Pengetahuan intuisi itu sifatnya penyingkapan atas sebuah realita. Jadi
seorang subjek benar-benar merasakan secara langsung apa yang ia alami.
Tidak ada pengenalan secara langsung terhadap sebuah realita selain
melalui intuisi. Di sinilah letak kevalidan pengetahuan intuisi berbeda
dengan pengetahuan inderawi dan akal yang hanya memperlihatkan
penampakannya saja.
Di antara para filosof intusionisme—sebuah aliran yang menjadikan
intuisi sebagai sumber pengetahuannya—adalah Henry Bergson seorang
filosof Perancis. Pengetahuan intuisi ini juga sangat familiar di
kalangan para mazhab irfani (kaum sufi). Metode yang dipakai kita kenal
dengan metode irfani.
d. Wahyu
Satu-satunya sumber pengetahuan yang tidak bisa diusahakan oleh manusia
adalah wahyu. Artinya ia benar-benar bersumber dan pemberian dari Tuhan.
Sehingga kebenarannya tidak perlu disanksikan lagi. Biasanya
pengetahuan ini disampaikan melalui orang-orang pilihan dan utusan Tuhan
dalam bentuk kitab suci.
Dasar dari pengetahuan ini adalah keyakinan dan menjadi salah satu pilar
keyakinan beragama. Orang yang beragama harus meyakini kebenaran semua
isi kandungan kitab suci. Di dalam kitab suci biasanya terkandung
cerita-cerita masa lalu. Berita tentang surga, neraka, pahala dan dosa.
Tentu saja yang tak kalah pentingnya adalah kebenaran akan keberadaan
Tuhan pencipta alam. Dan masih banyak berita-berita yang lainnya. Wahyu
merupakan sumber pengetahuan yang kaya. Metode yang dipakai adalah
metode bayani.
2. Kebenaran Pengetahuan
Sebelum membahas tentang teori kebenaran terlebih dahulu penting kiranya
untuk mendefinisikan apa arti kebenaran itu sendiri. Kebenaran menjadi
isu sentral dalam ilmu pengetahuan karena tujuan dari ilmu pengetahuan
adalah untuk mencari kebenaran.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadaminta
ditemukan arti kebenaran, yakni keadaan (hal dan sebagainya) yang benar
(cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya). Menurut William James
yang dikutip oleh Titus dkk (1984: 344), kebenaran (truth) adalah yang
menjadikan berhasil cara kita berpikir dan kebenaran adalah yang
menjadikan kita berhasil cara kita bertindak. Sedangkan menurut Louis
Kattsoff (1992: 178) ‘kebenaran’ menunjukkan bahwa makna sebuah
‘pernyataan’ artinya, proposisinya sungguh-sungguh merupakan halnya.
Bila proposisinya bukan merupakan halnya, maka kita mengatakan bahwa
proposisi itu “sesat”. Selanjutnya berkaitan dengan teori kebenaran ada
beberapa macam.
a. Teori Koherensi
Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz,
Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya
Elements of Philosophy, teori koherensi dijelaskan “….suatu proposisi
cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan
dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna yang
dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi,
suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren
atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap
benar. Bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti mati” adalah
suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan, “si polan adalah manusia
dan si polan pasti mati” adalah benar, sebab pernyataan kedua adalah
konsisten dengan pernyataan yang pertama.
b. Teori Korespondensi
Teori korespondensi biasanya dianut oleh para pengikut realisme, dan
mereka berpegang pada pendirian fakta-fakta. Dan teori ini yang diterima
secara luas oleh kelompok realis. Menurut paham ini, kebenaran adalah
kesetiaan kepada realita objektif. Kebenaran adalah persesuaian antara
pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri.
Kebenaran teori korespondensi berdasarkan pengalaman inderawi sehingga
ada atau tidak adanya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung
terhadap kebenaran atau kekeliruan. Misalnya pernyataan “Kota Bandung
berada di wilayah Jawa Barat” bukan karena pernyataan ini berguna atau
apa, tapi karena secara geografis dan berdasarkan pengalaman maupun
bukti empiris memang demikian.
c. Teori Kebenaran Pragmatis
Teori kebenaran pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914)
dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to
Make Our Ideas Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa
ahli filsafat yang kebanyakan berkebangsaan Amerika yang menyebabkan
filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli
filsafat ini misalnya William James, John Dewey, George Herbert Mead dan
C. I. Lewis.
Teori pragmatisme beranggapan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika
secara fungsional ia memberikan manfaat. Jadi ukurannya adalah hasil
yang didapatkannya. Jika hasilnya menguntungkan maka ia baik dan benar
dan sebaliknya jika hasilnya merugikan maka ia buruk dan salah.
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini adalah
penganut pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam
konsekuensi. Atau proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan
penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman, pernyataan itu adalah
benar. Misalnya pengetahuan naik bus berhenti di posisi kiri. Dengan
berhenti di posisi kiri, penumpang bisa turun dengan selamat. Jadi,
mengukur kebenaran bukan dilihat karena bus berhenti di posisi kiri,
namun penumpang bisa turun dengan selamat karena berhenti di posisi
kiri.
3. Batasan Pengetahuan
Berbicara tentang masalah ontologi memang sangat luas sekali cakupannya.
Ia tidak hanya berbicara soal keberadaan yang sifatnya materi tetapi
juga immateri. Kalau wujud yang materi bisa diketahui dengan menggunakan
pendekatan empiris maka wujud immateri hanya kita yakini keberadaannya
begitu saja. Paling kita percaya karena wujud yang immateri itu—seperti
keberadaan Tuhan, surga, neraka dan lainnya—diterangkan dalam kitab suci
(wahyu) bagi kalangan yang beragama. Bagi para penganut paham ateisme
tentu saja mereka tidak memercayai hal-hal yang bersifat immateri
tersebut.
Lantas apakah batas yang merupakan ruang lingkup penjelajahan ilmu? Di
manakah ilmu berhenti dan menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada
pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik objek ontologis ilmu
yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan yang lain? Jawaban
dari semua pertanyaan itu sangat sederhana. Ilmu memulai penjelajahannya
pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia.
Apakah ilmu mempelajari hal ihwal surga dan neraka? Jawabnya adalah
tidak sebab surga dan neraka berada di luar jangkauan pengalaman
manusia. Apakah ilmu mempelajari sebab musabab kejadian terciptanya
manusia? Jawabnya juga adalah tidak sebab kejadian itu berada di luar
jangkauan pengalaman kita. Baik hal yang terjadi sebelum hidup maupun
yang terjadi setelah kematian kita, semua itu berada di luar
penjelajahan ilmu.
Dengan demikian yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah pengetahuan
yang hanya bisa dijangkau oleh akal manusia dan bahkan yang bisa diuji
kebenarannya secara empiris. Sebuah ilmu harus memenuhi standar
metodologis dan bisa diuji dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Jika
suatu ilmu itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia bagaimana
kita bisa menguji kebenarannya dengan standar metodologis dan
metode-metode ilmiah.
Pembatasan ruang lingkup ilmu yang seperti ini nampaknya sangat sempit
sekali. Memang hal ini tidak bisa dilepaskan dari tradisi keilmuan yang
berkembang di Barat. Ilmu yang dalam bahasa Barat disebut dengan science
merupakan suatu pengetahuan yang tidak diragukan lagi kebenarannya
karena ia memenuhi standar-standar ilmiah. Ia bisa dibuktikan secara
empiris dan bisa di eksperimentasi. Sehingga suatu ilmu yang tidak
memenuhi kualifikasi itu bukanlah merupakan ilmu. Oleh sebab itu sesuatu
hal yang sifatnya immateri bukan termasuk objek kajian ilmu dan bahkan
ia dianggap tidak ada. Seperti itulah asumsi para saintis tentang ilmu
terutama yang berkembang di dunia Barat.
4. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Ada berbagai macam kalsifikasi ilmu pengetahuan yang diberikan oleh para
ahli. Tapi dalam kesempatan ini saya hanya akan memberikan gambaran
klasifikasi ilmu yang disusun oleh Ibn khaldun dalam kitab
al-Muqaddimah. Ia memberikan gambaran yang sangat komprehensif mulai
dari yang paling utama—dalam arti mencapai tingkat kematangannya—hingga
yang paling bawah yaitu ilmu fisik. Ia membagi ilmu ke dalam dua
kategori besar yaitu:
I. Ilmu-ilmu Naqliyyah (Transmitted Science) yang terdiri dari:
(1) Tafsir al-Qur’an dan Hadits
(2) Ilmu fiqih yang meliputi fiqh, fara’id dan ushul fiqh
(3) Ilmu Kalam
(4) Tafisr-tafsir ayat Mutasyabihat
(5) Tasawuf
(6) Tabir Mimpi (ta’bir al-Ru’yah)
II. Ilmu-ilmu Aqliyyah (Rational Science)
(1) Ilmu logika, yang terdiri dari
a. Burhan (Demonstrasi)
b. Jadal (Dialektika)
c. Khitbah (Retorik)
d. Syi’r (Puitik)
e. Safsathah (Sofistik)
(2) Fisika, yang terdiri dari:
a. Minerologi
b. Botani
c. Zoologi
d. Kedokteran
e. Ilmu Pertanian
(3) Matematika, yang terdiri dari:
a. Aritmetika
- Kalkulus
- Aljabar
b. Geometri
- Figur Sferik
- Kerucut
- Mekanika
- Surveying
- Optik
c. Astronomi
(4) Metafisika
a. Ontologi
b. Teologi
c. Kosmologi
d. Eskatologi
Selain itu, ada kelompok ilmu-ilmu praktis yang meliputi etika, ekonomi
dan politik. Ibn Khaldun juga terkenal sebagai bapak sosiologi Islam
yang telah melahirkan sebuah disiplin ilmu sosial yang disebut ilmu
budaya atau yang biasa kita sebut “sosiologi” yang meliputi:
1. Sosiologi secara umum
2. Sosiologi politik
3. Sosiologi ekonomi
4. Sosiologi kota
5. Sosiologi ilmu
5. Metode Ilmiah
Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia
mengamati sesuatu. Tentu saja hal ini membawa kita kepada pertanyaan
lain, mengapa manusia mulai mengamati sesuatu? Kalau kita telaah lebih
lanjut ternyata bahwa kita mulai mengamati objek tertentu kalau kita
mempunyai perhatian tertentu terhadap objek tersebut. Perhatian tersebut
dinamakan John Dewey sebagai suatu masalah atau kesukaran yang
dirasakan bila kita menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang
menimbulkan pertanyaan.
Selanjutnya setelah seseorang mendapatkan suatu permasalahan, tahapan
selanjutnya adalah berusaha mencoba menyelesaikan permasalahan itu.
Hanya saja dalam penyelesaian suatu masalah itu seseorang mempunyai cara
yang berbeda-beda. Mungkin itu hanyalah kenyataan yang sering terjadi
di dalam kehidupan sehari-hari.
Namun dalam tradisi keilmuan kita mengenal apa yang disebut dengan
metode ilmiah. Metode ilmiah ini merupakan langkah-langkah yang harus
ditempuh supaya mendapatkan ilmu pengetahuan yang valid. Oleh sebab itu
metode ilmiah ini terdiri dari beberapa tahapan yang harus dilalui mulai
dari awal—yaitu perumusan masalah—hingga tahap yang paling terakhir
yaitu penarikan kesimpulan. Jika suatu ilmu didapatkan dengan melalui
tahapan-tahapan ini kepastian kebenarannya tidak diragukan lagi.
Metode ilmiah pada dasarnya sama bagi semua disiplin keilmuan baik yang
termasuk dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Bila pun terdapat
perbedaan dalam kedua kelompok ilmu ini maka perbedaan itu sekedar
terletak pada aspek-aspek tekniknya dan bukan pada struktur berpikir
atau aspek metodologisnya.
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam
beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah.
Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logic-hypothetico
verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai
berikut:
(1) Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris
yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor
yang terkait di dalamnya
(2) Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang
merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat
antara berbagai faktor yang saling terkait dan membentuk konstelasi
permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan
premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan
faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
(3) Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan
terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan
dari kerangka berpikir yang dikembangkan
(4) Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang
relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah
terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak
(5) Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apkah sebuah hipotesis
yang diajukan itu diterima atau ditolak. Kiranya dalam proses pengujian
terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis itu
diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat
fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak.
Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari ilmu
pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni
mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah
sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini
harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum
terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.
Semua itu adalah langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mendapatkan
pengetahuan ilmiah. Meskipun antara langkah yang satu dengan yang lain
saling terkait dan langkah yang awal menjadi dasar bagi langkah yang
selanjutnya tapi dalam praktiknya bisa berbeda. Seorang peneliti bisa
memulainya dengan menemukan fakta-fakta di lapangan kemudian
merumuskannya dan mengambil kesimpulan secara umum (induksi) atau
membuktikan premis-premis yang sudah ada kemudian disesuaikan dengan
fakta (deduksi).
Dalam sebuah tradisi keilmuan, ilmu bisa berkembang bila dilakukan
sebuah proses falsifikasi. Artinya kita sesuaikan antara teori-teori
yang ada dengan kenyataan yang ada di lapangan (mencari pembuktian).
Artinya jika teori yang kita miliki tidak sesuai dengan kenyataan di
lapangan maka kewajiban kita adalah merumuskan teori baru. Demikian
proses itu berlangsung secara terus menerus hingga dicapai kesesuaian
antara teori dengan fakta. Dari sinilah sebuh ilmu itu akan selalu
mengalami perkembangan. Bukan sebaliknya mencari pembenaran terhadap
teori yang sudah ada. Artinya teori yang sudah ada tersebut dianggap
sudah benar sehingga tinggal mencari pembenaran fakta-faktanya di
lapangan. Jika tidak sesuai antara fakta dengan teori fakta tersebut
disingkirkan sampai menemukan fakta yang sesuai dengan teori. Jika
demikian maka suatu ilmu itu tidak akan mengalami perkembangan.
C. Aksiologi
Jika ontologi berbicara tentang hakikat yang ada (objek ilmu) dan
epistemologi berbicara tentang bagaimana yang ada itu bisa diperoleh
(cara memperoleh ilmu) maka aksiologi berkaitan dengan manfaat dari pada
ilmu itu sendiri atau kaitan penerapan ilmu itu dengan kaidah-kaidah
moral.
Dalam Wikipedia aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang
berarti “nilai” dan logos yang berarti “ilmu” atau “teori”. Jadi,
aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Adapun Jujun S. Suriasumantri dalam
bukunya Filsafat Ilmu mengatakan bahwa aksiologi adalah cabang filsafat
yang mempelajari tentang nalai secara umum. Sebagai landasan ilmu,
aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu
dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang
merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau
profesional?
Menurut Brameld, ada tiga bagian yang membedakan di dalam aksiologi.
Pertama, moral conduct, tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin
khusus yaitu etika. Kedua, esthetic expression, ekspresi keindahan yang
melahirkan estetika. Ketiga, socio-political life, kehidupan
sosio-politik. Bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosio-politik.
1. Teori Nilai (Etika)
Problem aksiologis yang pertama berhubungan dengan nilai. Berkaitan
dengan masalah nilai sebenarnya telah dikaji secara mendalam oleh
filsafat nilai. Oleh sebab itu dalam kesempatan kali ini akan dibahas
beberapa hal saja yang kiranya penting untuk dipaparkan berkaitan dengan
masalah nilai. Tema-tema yang muncul seputar masalah ini misalnya
apakah nilai itu subjektif atau objektif.
Perdebatan tentang hakikat nilai, apakah ia subjektif atau objektif
selalu menarik perhatian. Ada yang berpandangan bahwa nilai itu objektif
sehingga ia bersifat universal. Di mana pun tempatnya, kapanpun
waktunya, ia akan tetap dan diterima oleh semua orang. Ambil misal
mencuri, secara objektif ini salah karena hal itu merupakan perbuatan
tercela. Siapa pun orangnya, di mana pun dan kapanpun pasti akan sepakat
bahwa mencuri dan perbuatan tercela lainnya adalah salah. Jadi nilai
objektif itu terbentuk jika kita memandang dari segi objektivitas nilai.
Sementara jika kita melihat dari segi diri sendiri terbentuklah nilai
subjektif. Nilai itu tentu saja bersifat subjektif karena berbicara
tentang nilai berarti berbicara tentang penilaian yang diberikan oleh
seseorang terhadap sesuatu. Tentunya penilaian setiap orang berbeda-beda
tergantung selera, tempat, waktu, dan juga latar belakang budaya, adat,
agama, pendidikan, yang memengaruhi orang tersebut. Misalnya bagi orang
Hindu tradisi Ngaben (membakar mayat orang mati) merupakan suatu bentuk
penghormatan terhadap orang mati dan bagi mereka hal itu dianggap baik
dan telah menjadi tradisi. Namun bagi orang Islam hal itu diangap tidak
baik. Berhubungan seksual di luar nikah asal atas dasar suka sama suka
hal ini tidak menjadi masalah dan biasa di Barat. Tapi bagi orang Islam
hal itu jelas hina, jelek, dan salah. Bagi orang-orang terdahulu, ada
beberapa hal yang dianggap tabu, tidak boleh dilakukan dan tidak pantas
tapi hal-hal tersebut tidak lagi bermasalah bagi orang-orang sekarang
ini. Dari sini bisa dilihat bahwa nilai itu bersifat subjektif
tergantung siapa yang menilai, waktu dan tempatnya.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang baik dan buruk bukan
salah dan benar. Apa yang baik bagi satu pihak belum tentu baik pula
bagi pihak yang lain dan sebaliknya. Apa yang baik juga belum tentu
benar misalnya lukisan porno tentu bagus—setiap orang tidak
mengingkarinya kecuali mereka yang pura-pura dan sok bermoral—tapi itu
tidak benar. Membantu pada dasarnya adalah baik tapi jika membantu orang
dalam tindakan kejahatan adalah tidak benar.
Jadi, persoalan nilai itu adalah persoalan baik dan buruk. Penilaian itu
sendiri timbul karena ada hubungan antara subjek dengan objek. Tidak
ada sesuatu itu dalam dirinya sendiri mempunyai nilai. Susuatu itu baru
mempunyai nilai setelah diberikan penilaian oleh seorang subjek kepada
objek. Suatu barang tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, atau tidak
ada manusia yang melihatnya. “Bunga-bunga itu tetap ada, sekalipun
tidaak ada mata manusia yang memandangnya. Tetapi nilai itu tidak ada,
kalau manusia tidak ada, atau manusia tidak melihatnya. Bunga-bunga itu
tidak indah, kalau tidak ada pandangan manusia yang mengaguminya.
Karena, nilai itu baru timbul ketika terjadi hubungan antara manusia
sebagai subjek dan barang sebagai objek.”
Namun yang paling penting dari masalah etika adalah implikasi
praksisnya. Artinya sesuatu yang buruk itu seharusnya ditinggalkan
sedangkan yang baik seharusnya dilaksanakan. Dengan demikian ilmu
pengetahuan akan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia bukan justru
malah mengancam eksistensi manusia itu sendiri.
Jika kita melihat fenomena yang ada sekarang ini—dunia modern—bagaimana
sebuah ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) banyak yang disalahgunakan
untuk tujuan-tujuan kejahatan. Misalnya saja dalam kejahatan perang.
Banyak kasus yang bisa kita utarakan berkaitan dengan masalah ini
seperti Perang Dunia, Perang Teluk, Perang Vietnam hingga perseturuan
antara Palestina dan Israel yang tidak ada henti-hentinya. Mereka yang
secara persenjataan lebih maju seolah dengan alasan pembelaan
membenarkan tindakan pengeboman dan pembantaian masal di mana seringkali
korbannya adalah warga sipil. Tindakan seperti ini tentu tidak bisa
dibenarkan, tak berperikemanusiaan dan amoral. Selain itu juga misalnya
pembuatan senjata nuklir dan senjata pemusnah masal yang jelas sekali
mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Itu adalah sekedar contoh dari
pemanfaatan teknologi yang tidak tepat guna. Tentunya masih banyak yang
lainnya. Oleh sebab itu aksiologi dalam hal ini berfungsi untuk
memberikan tuntunan bagaimana suatu hal itu bisa digunakan secara tepat
guna.
Memang segala sesuatu itu—termasuk implikasi kemajuan di bidang ilmu
pengetahuan—mempunyai dampak negatif dan positif. Tapi sebenarnya dampak
yang negatif itu bisa dihindari atau setidaknya diminimalisir. Semua
itu adalah demi kepentingan kehidupan manusia itu sendiri.
2. Estetika
Estetika (aesthetica) mula-mula berarti teori tentang pencerapan
penghayatan pengalaman indera, sesuai dengan istilah Kant dengan
transzendentale asthetik (teori tentang susunan penghayatan panca-indra
dalam ruang dan waktu, berlawanan dengan transzendentale logic:
pengetahuan rasional dan penuturan). Perlawanan yang dikemukakan oleh
Kant itu juga dinyatakan oleh Baumgarten.
Ia menempatkan logika sebagai teori pemakaian pemikiran yang benar dan
estetika sebagai teori tentang penghayatan sempurna panca-indera.
Masalah yang timbul tentang estetika yang dihadapi oleh banyak ahli
pikir semenjak Plato dan Aristoteles ialah pernyataan tentang hakikat
keindahan dan seni. Dengan demikian seluruh lapangan nilai, dalam mana
keindahan dan seni merupakan bagiannya, dinamakan lapangan estetika,
dikordinasikan dengan logika dan estetika. Estetika dalam pengertian
baru itu diapakai oleh Kant dan Schiller sehingga menjadi umum di
Jerman, meluas ke dalam pemakaian internasional.”
Perdebatan lain yang menarik perhatian berkaitan dengan masalah estetika
adalah tentang keindahan, apakah keindahan itu sesuatu yang sifatnya
objektif atau subjektif? Jika teori tentang nilai mengatakan bahwa
persoalan nilai itu adalah masalah yang subjektif maka sebaliknya dengan
persoalan estetika. Persoalan estetika lebih berpihak pada pandangan
objektivisme. Artinya bahwa keindahan itu merupakan sifat yang objektif
yang dimiliki oleh suatu benda. Ia bukanlah penilain subjektif
seseorang. Diantara yang berpandangan seperti ini adalah Hegel. Hegel
menganggap bahwa seluruh alam adalah manifestasi dari Cita Mutlak,
Absolut Idea. Keindahan adalah pancaran Cita Mutlak melalui saluran
indera. Ia adalah sejenis pernyataan ruh. Seni, agama dan filsafat
merupakan tingkat-tingkat tertinggi dari perkembangan ruh.
Sedangkan Kant memberikan arah yang baru sama sekali dalam mencari
keterangan tentang estetika. Dengan Kant dimulailah studi ilmaih dan
psikologi tentang teori estetika. Ia mengatakan dalam The Critique of
Judgement bahwa akal memiliki indera ketiga di atas pikiran dan kemauan.
Itulah inder rasa. Yang khas pada rasa atau kesenangan estetika ialah
ia tidak mengandung kepentingan. Ini membedakannya daripada
kesenangan-kesenangan yang lain yang mengandung unsur keinginan atau
terlibat dalam kepentingan pribadi atau hayat. Gula misalnya tidaklah
indah tapi dikehendaki. Kita menginginkannya untuk menikmatinya.
Demikian pula tindakan moral tidal indah. Ia adalah baik. Kita
menyetujuinya karena kepadanya kita mempunyai kepentingan. Sebaliknya
dengan keindahan. Selalu Ia merupakan objek kepuasan yang tidak
mengandung kepentingan, berbeda dari keinginan-keinginan yang lain.
Indah, sekalipun ruhaniah adalah objektif. Karena itu ia selalu
merupakan objek penilaian. Kita mengatakan: “Barang ini indah”. Hal ini
menunjukkan bahwa keindahan itu merupakan sifat objek, tidak hanya
sekedar selera yang subjektif. Demikianlah teori Kant.
Di dalam Islam sendiri konsep “keindahan” itu sangat jelas sekali.
Sumber keindahan itu bahkan bersumber dari Ilahi. Dikatakan bahwa “Allah
itu Maha Indah dan menyukai keindahan”. Demikian juga alam sebagai
ciptaannya merupakan sesutau yang indah dan menakjubkan. Bagaimana kita
seringkali mengagumi keindahan alam yang ada di sekitar kita. Hal ini
merupakan sebuah ekspresi nyata yang sering kali kita ungkapkan. Artinya
suatu nilai estetika benar-benar merupakan sesuatu yang objektif bukan
subjektif sebagaimana nilai etika.
3. Sosio Politik
Bagian ketiga dari aksiologi adalah tentang sosio-politik. Sosio-politik
ini merupakan ilmu praksis. Yang pertama mengenai ilmu sosial, dalam
hal ini ia berfungsi sebagai ilmu yang mengatur bagaimana manusia hidup
bermasyarakat. Hanya saja ia mempunyai concern yang lebih spesifik yaitu
berkaitan dengan masalah tindakan manusia atau bagaimana manusia itu
harus bergaul, berinteraksi antara yang satu dengan yang lain. Manusia
sebagai makhluk sosial pasti tidak bisa dilepaskan dari manusia yang
lain untuk mempertahankan hidup. Artinya mereka saling membutuhkan satu
sama lain. Dalam perkembagannya, ilmu sosial ini nantinya akan menjadi
disiplin ilmu trsendiri yaitu sosiologi.
Berbicara tentang ilmu sosial tentu juga tidak bisa dilepaskan dari yang
namanya ilmu ekonomi karena masalah sosial juga mencakup masalah
ekonomi. Misalnya bagaimana manusia membutuhkan keberadaan manusia yang
lain untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Ekonomi dalam tradisi ilmiah Islam, sebagaimana dipahami juga di dalam
tradisi Yunani, harus dipahami sebagai manajemen rumah tangga (tadbir
al-manzil), yang tujuannya adalah memberi bimbingan kepada semua anggota
keluarga—terutama anggota keluarganya—tentang berbagai masalah yang
berkaitan dengan pengelolaan rumah tangga. Jadi bukan dalam arti ekonomi
makro atau ekonomi perusahaan seperti yang layaknya dipelajari pada
masa sekarang di sekolah-sekolah. Karena itu sebagaimana etika
memberikan petunjuk-petunjuk praktis bagaimana bertindak sebaik mungkin
sebagai individu, demikian juga ekonomi memberikan bimbingan praktis
bagaimana bertindak sebaik mungkin sebagai anggota keluarga.”
Berkaitan dengan masalah manajemen rumah tangga juga adalah bagaimana
caranya mencari nafkah yang halal, cara menyimpannya, membelanjakannya
dan sebagainya. Bahkan juga dibahas bagaimana mencari pembantu yang
baik, apa kriteria pembantu yang baik dan bagaimana sikap kita
terhadapnya. Yang tidak kalah pentingnya dalam membangun sebuah rumah
tangga adalah bagaimana mencari istri yang baik. Karena istri merupakan
tiang dari sebuah rumah tangga itu sendiri. Demikian juga dibahas
alasan-alasan apa yang menyebabkan seseorang butuh rumah tangga. Apa
prinsip-prinsipnya dan hal apa saja yang diperlukan dalam pengelolaan
sebuah rumah tangga.
Selanjutnya adalah masalah politik. Sebagaimana etika dan ekonomi,
politik juga dipandang dalam tradisi ilmiah Islam, sebagai ilmu praktis,
yang tujuannya member bimbingan kepada manusia, bagaimana menjadi
manusia sebaik-baiknya sebagai seorang anggota masyarakat atau dengan
kata lain sebagai makhluk sosial. Ilmu politik ini terutama penting
sekali bagi para pemimpin masyarakat ataupun pemerintah, karena Ia juga
memberi kita arahan tentang bagaimana memerintah atau mengelola
masyarakat yang dipimpinnya.
Masalah politik juga menyangkut masalah kenegaraan sehingga ia juga
berbicara tentang bagaimana mencari seorang pemimpin yang baik dan adil.
Apakah kualifikasinya. Demikian juga dibahas tipe-tipe negara. Misalnya
ada negara utama dan tidak utama. Negara utama hanya punya satu jenis
saja sedangkan negara tidak utama ada yang disebut negara bodoh, negara
yang durjana dan negara yang keliru.
III. Penutup
Dari uraian di atas kita bisa mengetahui betapa luasnya objek kajian
filsafat mulai dari masalah ontologis, epistemologis hingga aksiologis.
Tiga cabang utama filsafat tersebut merupakan masalah yang paling
fundamental dalam kehidupan. Ia memberikan sebuah kerangkan berpikir
yang sangat sistematis. Hal itu dikarenakan ketiganya merupakan proses
berpikir yang diawali dengan pembahasan “Apa itu kebenaran?”, “Bagaimana
mendapatkan kebenaran?”, dan “Untuk apa kebenaran tersebut
(aplikasinya) dalam kehidupan sehari-hari?”
Hal tersebut mengindikasikan bahwa filsafat layak dikatakan sebagai
induk dari semua ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu-ilmu lain akan
mengalami hambatan tanpa peranan filsafat. Hal itu dikarenakan semua
permasalah mendasar dari seluruh ilmu adalah problem filosofis. Hal
tersebut harus segera dipecahkan sebagai langkah awal untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan sekunder. Dengan kata lain, pada
dasarnya semua ilmu pengetahun tidak terlepas dari tiga problem
filosofis tersebut (ontologis, epistemologis dan aksiologis). Artinya
semua ilmu pengetahuan pasti berbicara tentang apa yang menjadi objek
kajiannya, bagaimana cara mengetahuinya dan apa manfaatnya buat
kehidupan manusia.
Demikianlah makalah singkat, yang mengangkat tema fundamental dalam
dunia filsafat, ini. Kami mengharapkan tulisan ini bisa menjadi bahan
pertimbangan demi perkembangan pemikiran manusia. Sehingga, buah
pemikiran tersebut dapat melahirkan peradaban besar. Perbedaan pendapat
berkaitan dengan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi di kalangan
filosof semata karena berdasaekan pada aliran filsafat yang mereka anut.
Tetapi, semua itu harus kita apresiasi karena merupakan tahapan
pencarian “kebenaran yang hakiki”. Hal itu dikarenakan ilmu pengetahun
berbicara tentang peluang dan prediksi. Walaupun, sesungguhnya terdapat
kebenaran absolut, tetapi hanya Realitas Absolut yang mengetahui hal
itu. Kita sebagai manusia yang memiliki akal dan hati nurani hanya
berupaya mencapai kebenaran tersebut sampai akhir hayat dan
mengaplikasikannya untuk kemaslahatan umat manusia.
Senin, 13 Mei 2013
Definisi ontologi, epistimologi dan aksiologi
oleh Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
I. Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah manusia, pemikiran filosofis senantiasa berkembang. Hal itu dikarenakan pemikiran merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, bahkan merupakan ciri khas manusia. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari anugerah akal yang dimiliki oleh manusia. Pemikiran filosofis meniscayakan kelahiran filsafat sebagai induk dari semua ilmu. Di antara corak pemikiran manusia adalah pengetahuan tentang wujud, awal bermulanya hingga akhirnya. Oleh karena itu, buah pemikiran dari manusia melahirkan berbagai macam aliran dalam filsafat yakni, aliran empirisme, rasionalisme, idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, positivisme, vitalisme, strukturalisme, post-strukturalisme dan lain-lain.
Selain itu, permasalahan yang menjadi objek kajian (pembahasan) dalam filsafat mengalami perkembangan yang signifikan. Filsafat tidak hanya berhenti pada permasalahan wujud, tetapi juga merambah pada pembahasan berkenaan dengan ilmu. Selain itu, filsafat juga menyentuh tataran praktis, terutama berkaitan dengan moral. Perkembangan tersebut merupakan implikasi logis dari perkembangan pola pikir manusia itu sendiri. Hal tersebut tidak lain merupakan upaya untuk menemukan “kebenaran”.
Pencarian terhadap kebenaran seiring dengan tujuan dari filsafat itu sendiri, yakni untuk mencari kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mengetahui segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya (problem ontologis). Kemudian, timbul pertanyaan setelah mencari “Apa itu kebenaran?” yaitu “Bagaimana kita bisa mendapatkan pengetahuan yang hakiki itu atau sesuatu yang ada sebagaimana adanya (kebenaran)? Persoalan ini merupakan problem epistemologis. Selanjutnya, setelah kita mengetahui kebenran dan cara untuk mendapatkannya, muncul pertanyaan untuk apa pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, pemikiran selanjutnya berkaitan dengan pengaplikasian ilmu yang telah didapatkan pada tataran praktis. Ini disebut dengan problem aksiologis, artinya apakah ilmu pengetahuan yang didapat itu bisa diterapkan untuk kemaslahatan umat atau justru sebaliknya, terutama kaitannya dengan moralitas. Singkatnya, wilayah ontologi bertanya tentang “apa” wilayah epistemologi bertanya tentang “bagaimana” sedangkan, wilayah aksiologi bertanya tentang “untuk apa”.
Tiga problem filosofis inilah —ontologi, epistemologi dan aksiologi— yang hingga kini masih menimbulkan perdebatan. Hal itu dikarenakan masing-masing aliran filsafat memiliki sudut pandang tersendiri berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Oleh karena itu, pembahasan mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi topic penting pembahasan penting dalam dunia Filsafat. Hal inilah yang menjadi alasan bagi penulis untuk mengetengahkan pembahasan tersebut dalam makalah ini.
II. Pembahasan
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom. Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama.
Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti: Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau profesional?
Jika disimpulkan berbagai macam pertanyaan di atas maka yang pertama adalah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah ontologis. Kedua, masuk dalam wilayah kajian epistemologis. Sedangkan yang ketiga adalah problem aksiologis. Semua disiplin ilmu pasti mempunyai tiga landasan ini. Di bawah ini penulis akan memaparkan sekilas pembahasan mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.
A. Ontologi
“Secara terminologi, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu on atau ontos yang berarti “ada” dan logos yang berarti “ilmu”. Sedangkan secara terminologi ontologi adalah ilmu tentang hakekat yang ada sebagai yang ada (The theory of being qua being). Sementara itu, Mulyadi Kartanegara menyatakan bahwa ontology diartikan sebagai ilmu tentang wujud sebagai wujud, terkadang disebut sebagai ilmu metafisiska. Metafisika disebut sebagai “induk semua ilmu” karena ia merupakan kunci untuk menelaah pertanyaan paling penting yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan, yakni berkenaan dengan hakikat wujud.
Mulla Shadra berpendapat ‘Tuhan sebagai wujud murni’. Hal ini dibenarkan oleh Suhrawardi bahwa alam merupakan emanasi. Alam merupakan manifestasi (tajalli). Sedang Plato berpendapat bahwa cunia yang sebenarnya adalah dunia ide. Dunia ide adalah sebuah dunia atau pikiran univewrsal (the universal mind). Aristoteles tidak menyangsikan pendapat gurunya (Plato), hanya saja dia lebih percaya bahwa yang kita lihat adalah riil. Sedangkan Thales beranggapan bahwa sumber dari segala sesuatu adalah air. Kita tidak tahu pasti apa yang dimaksudkannya dengan itu, dia mungkin percaya bahwa seluruh kehidupan berasal dari air dan seluruh kehidupan kembali ke air lagi ketika sudah berakhir.
Yang termasuk dalam pembahasan ontologi adalah fisika, matematika dan Metafisika. Fisika sebagai tingkatan yang paling rendah, matematika sebagai tingkatan tengah-tengah sedangkan teologi sebagai tingkatan yang paling tinggi. Alasan pembagian tersebut adalah karena ilmu itu ada kalanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat diindera, yaitu sesuatu yang berbenda, yaitu fisika. Ada kalanya berhubungan dengan benda tetapi mempunyai wujud tersendiri, yaitu matematika. Dan ada yang tidak berhubungan dengan suatu benda yaitu metafisika.
Ontologi juga sering diidentikkan dengan metafisika, yang juga disebut dengan proto-filsafat atau filsafat yang pertama atau filsafat ketuhanan. Pembahasannya meliputi hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, substansi dan aksiden, yang tetap dan yang berubah, eksistensi dan esensi, keniscayaan dan kerelatifan, kemungkinan dan ketidakmungkinan, realita, malaikat, pahala, surga, neraka dan dosa.
Dengan kata lain, pembahasan ontologi biasanya diarahkan pada pendeskripsian tentang sifat dasar dari wujud, sebagai kategori paling umum yang meliputi bukan hanya wujud Tuhan, tetapi juga pembagian wujud. Wujud dibagi ke dalam beberapa kategori, yakni wajib (wajib al-wujud), yaitu wujud yang niscaya ada dan selalu aktual, mustahil (mumtani’al wujud) yaitu wujud yang mustahil akan ada baik dalam potensi maupun aktualitas, dan mungkin (mumkin al-wujud), yaitu wujud yang mungkin ada, baik dalam potensi maupun aktualitas ketika diaktualkan ke dalam realitas nyata.
Persoalan tentang ontologi ini menjadi pembahasan utama di bidang filsafat, baik filsafaf kuno maupun modern. Ontologi adalah cabang dari filsafat yang membahas realitas. Realitas adalah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada suatu kebenaran. Bedanya, realitas dalam ontologi ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan: apakah sesungguhnya realitas yang ada ini; apakah realitas yang tampak ini suatu realita materi saja; adakah sesuatu di ballik realita itu; apakah realita ini terdiri dari satu unsur (monisme), dua unsur (dualisme) atau serba banyak (pluralisme).” Di bawah ini adalah berbagai macam pandangan tentang ontologi.
a. Monisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanya satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran yaitu materialisme dan idealisme.
Materialisme menganggap bahwa yang benar-benar ada hanyalah materi. Sedangkan ruh atau jiwa bukanlah suatu kenyataan yang bisa berdiri sendiri bahkan ia hanya merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan salah satu cara tertentu. Materialisme sering juga disebut dengan naturalisme artinya bahwa yang benar-benar ada hanyalah alam saja. Sedangkan yang di luar alam tidaklah ada. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh para filosof pra-sokratik seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes, Democritos dan lainnya. Thales misalnya beranggapan bahwa unsur dari semua makhluk hidup adalah air. Sedangkan Anaximandros beranggapan bahwa alam semesta ini berasal dari apeiron artinya “yang tak terbatas” yaitu yang bersifat ilahi, abadi, tak terubahkan dan meliputi segalanya. Anaximenes beranggapan lain, bahwa prinsip yang merupakan asal usul segala sesuatu adalah udara. Dan Democritos menganggap bahwa alam ini tersusun dari atom-atom yang tak terhingga jumlahnya.
“Sedangkan sebagai lawan dari materialisme yaitu idealisme yang berarti juga spiritualisme berarti serba cita, sedang spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan ruhani.”
“Perintis dari aliran ini adalah Plato yang selanjtunya akan dikembangkan oleh George Barkeley, kemudian oleh Kant, Fichte, Hegel hingga Schelling. Menurut Plato realitas seluruhnya seakan-akan terdiri dari dua “dunia”. Satu “dunia” mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada panca indera. Pada taraf ini diakui bahwa semuanya tetap berada dalam perubahan. Bunga yang kini bagus, keesokan harinya sudah layu. Lagi pula dunia inderawi ditandai oleh pluralitas. Selain bunga tadi, masih ada banyak hal yang bagus juga. Harus diakui juga bahwa di sini tidak ada sesuatu pun yang sempurna. Di samping “dunia” inderawi itu terdapat satu “dunia” lain, suatu dunia ideal atau dunia yang terdiri atas ide-ide. Dalam dunia ideal ini sama sekali tidak ada perubahan. Semua ide bersifat abadi dan tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada banyak hal yang bagus, hanya ada satu ide “yang bagus”. Demikian halnya dengan ide-ide yang lain. Dan setiap ide-ide bersifat sama sekali sempurna.” Oleh sebab itu, menurut Plato yang benar-benar real itu hanyalah idea atau dunia ide sedangkan yang materi merupakan pengejawantahan dari ide.
Dalam dialog Politeia yang sangat masyhur Plato bercerita mitos tentang gua. Ia menggambarkan kehidupan di dunia ini ibarat tahanan dalam gua yang hanya mempunyai pengalaman di dalam gua saja. Sebaliknya mereka tidak mengetahui realitas di luar gua yang nyata adanya. Baru ketika mereka keluar dari gua mereka baru percaya bahwa ada realitas selain pengalaman yang mereka lihat selama di dalam gua. Artinya gua itu adalah dunia yang disajikan kepada panca indera kita. Kita menerima semua pengalaman secara spontan begitu saja. Padahal sebenarnya pengalaman inderawi itu tak lebih dari sekedar bayang-bayang semata.
b. Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh dan ruh bukan muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama ini kedua hakikat ini adalah dalam diri manusia.
Tokoh paham ini adalah Rene Descartes. Sebagai pendobrak filsafat modern Descartes mempunyai concern yang jauh lebih rumit. Ia tidak lagi melihat alam yang secara terus-menerus dijadikan objek kajian dalam ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi ia melihat relasi antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui. Dengan demikian ia memosisikan manusia tidak hanya sebagai subjek saja tetapi sekaligus sebagai objek. Pertanyaannya adalah apakah pengetahuan yang kita miliki itu karena memang ada realitas di luar sana atau justru karena faktor keberadaan manusia sebagai subjek yang berpikir. Diktum Descartes Cogito Ergo Sum “aku berpikir maka aku” ada jelas sekali memosisikan manusia sebagai subjek berpikir yang bebas. Karena saya berpikir maka saya menjadi ada demikian realitas yang lain menjadi ada pula. Manusia merupakan subjek yang sadar akan keberadaan dirinya. Paham inilah yang kemudian menjadi cikal bakal aliran eksistensialisme.
c. Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segala macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari unsur banyak, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James seorang filosof dan psikolog kenamaan asal Amerika. Ia berpendapat bahwa dunia ini terdiri dari banyak kawasan yang berdiri sendiri. Dunia bukanlah suatu universum, melainkan suatu multi-versum. Dunia adalah suatu dunia yang terdiri dari banyak hal yang beraneka ragam atau pluralis.
d. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternative yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev dalam novelnya Fathers and Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Dalam novel itu Bazarov sebagai tokoh sentral mengatakan lemahnya kutukan ketika ia menerima nihilisme. Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Georgias yang memberika tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ini disebabkan oleh pengindraan itu sumber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta ini karena kita telah dikungkung oleh dilema subjektif. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat diketahui ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
e. Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnosticisme berasal dari bahasa Yunani yaitu agnostos yang berarti “unknown”. A artinya not dan no artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat transcendent.” Beberapa tokoh aliran ini misalnya Soren Kiekegaar, Heidegger, Sartre, dan Jasper.
Masalah ontologi ini semakin lama semakin berkembang tidak hanya di dunia filsafat Barat tetapi juga di dunia filsafat Islam. Misalnya dalam Islam kita kenal ada aliran Isyraqi dengan tokohnya Suhrawardi dan Hikmah Mutaalliyah oleh Mulla Sadra. Suhrawardi misalnya mendiskripsikan realitas ini bagaikan cahaya yang mempunyai gradasi dari sumber cahaya itu sendiri yang paling terang hingga yang paling lemah. Sumber cahaya itu adalah Tuhan dan cahaya yang semakin meredup itu bagaikan ciptaan-Nya yang bermacam-macam dari yang paling sempurna hingga yang paling rendah. Sedangkan Mulla Sadra terkenal dengan pandangan Asalat al-Wujud dan Wahdat al-Wujud. Sadra beranggapan bahwa yang primer itu adalah wujud. Tanpa wujud segala sesuatu tidak akan pernah ada. Dan wujud dari semua hal adalah sama. Oleh sebab itu ia meyakini kesatuan wujud (Wahdat al-Wujud). Sedangkan yang membuat sesuatu itu berbeda dengan yang lain adalah karena aksidennya seperti warna dan lainnya.
Masalah ontologis memang menjadi perhatian yang paling serius dalam filsafat ilmu. Sebab ia bertanggungjawab atas kebenaran dari suatu ilmu itu. Oleh sebab itu, ia tidak berbicara tentang apa yang tampak tapi apa yang nyata. Sebab penampakan itu belum tentu sesuai dengan kenyataannya.. Wilayah ontologi bukan berbicara pada tataran penampakan tapi kenyataan. Mampu mengetahui kenyataan yang hakiki itulah sebagai ilmu pengetahuan yang valid. Jadi, pembahasan wujud dalam ontologi merupakan realitas mutlak dan lawan dari ketiadaan. Wujud dalam hal ini mencakup segala hal, mulai dari Dzat Ilahi, realitas-realitas abstrak dan material, baik substansi maupun aksiden dan baik esensi maupun keadaan.
B. Epistemologi
Jika kita berbicara tentang ilmu pengetahuan, apakah anda pernah memikirkan apa itu pengetahuan? Pastinya anda menganggap bahwa saya orang yang aneh. Kalau saya bertanya, apakah kita tahu? Pastinya kita semua tahu. Tentang nama kita sendiri, Jakarta sebagai ibu kota Indonesia, Manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan bahwa 2+2 = 4. Sebuah lompatan drastis yang dilakukan Socrates pada zamannya, dan mungkin sampai sekarang ini masih, dengan pernyataannya “apa yang saya ketahui adalah apa yang tidak saya ketahui” bagaimana akal kita bisa menerima pernyataan yang kontradiksi ini?
Akar permasalahan adalah pengetahuan yang rupanya menuntutut sejenis kepastian tertentu yang tidak dimiliki oleh kepercayaan yang biasa. Tetapi sekali saja anda bertanya, apa yang akan membenarkan kepastian ini, anda mulai merasakan sangatlah sulit menemukan jawabannya.
Mudah mengetahui mengapa begitu banyak pemikir memperdebatkan pengetahuan yang menuntut adanya sebuah kepastian. “Mengetahui” bisa kita sebut dengan kata yang sukses. Demikian dengan kata “belajar”. Untuk mengetahui seseorang telah mempelajari sesuatu, sama denga mengatakan mereka telah mempelajari sesuatu dengan sukses dan kini telah menyerap apa saja yang telah mereka pelajari. (mengatakan mereka sedang belajar jelas tidak menunjukkan bahwa mereka telah menguasai secara sempurna, hanya sedang mengejar kesempurnaan itu. Misal; anda sedang mempelajari aritmatika, apakah bisa dikatakan anda menguasai aritmatika?). kita bisa mengatakan bahwa seseorang telah sukses dengan apa yang telah mereka pelajari apabila mereka dapat menyatakan kembali apa yang telah mereka peroleh di masa lalu.
Epistemologi merupakan tahapan berikutnya setelah pembahasan ontologi dalam filsafat. “Istilah epistemologi dipakai pertama kali oleh J.F. Feriere yang maksudnya untuk membedakan antara dua cabang filsafat, yaitu epistemologi dan ontologi (metafisika umum). Kalau dalam metafisika pertanyaannya adalah apa yang ada itu? Maka pertanyaan dasar dalam epistemologi adalah apa yang dapat saya ketahui?”
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi theory of knowledge.
Dengan kata lain, epistemologi adalah bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran kebenarannya. Isu-isu yang akan muncul berkaitan dengan masalah epistemologi adalah bagaimana pengetahuan itu bisa diperoleh? Jika keberadaan itu mempunyai gradasi (tingkatan), mulai dari yang metafisik hingga fisik maka dengan menggunakan apakah kita bisa mengetahuinya? Apakah dengan menggunakan indera sebagaimana kaum empiris, akal sebagaimana kaum rasionalis atau bahkan dengan menggunakan intuisi sebagaimana urafa’ (para sufi)? Oleh sebab itu yang perlu dibahas berkaitan dengan masalah ini adalah tentang teori pengetahuan dan metode ilmiah serta tema-tema yang berkaitan dengan masalah epistemologi.
Berbicara tentang asal-usul pengetahuan maka ilmu pengetahuan ada yang berasal dari manusia dan dari luar manusia. Pengetahuan yang berasal dari manusia meliputi pengetahuan indera, ilmu (akal) dan filsafat. Sedangkan pengetahuan yang berasal dari luar manusia (berasal dari Tuhan) adalah wahyu. Pembahasan epistemologi meliputi sumber-sumber atau teori pengetahuan, kebenaran pengetahuan, batasan dan kemungkinan pengetahuan, serta klasifikasi ilmu pengetahuan.
1. Sumber-Sumber Pengetahuan
Salah satu pokok pembahasan epistemologi adalah mengenai sumber-sumber pengetahuan. Dengan fakultas apa manusia mencapai pengetahuan? Bagaimanakah nilai pengetahuan yang diperoleh manusia? Sampai batasan mana manusia memeroleh pengetahuan? Pertanyaan-pertanyaan ini terkait erat dengan sumber-sumber pengetahuan.
Apa saja sumber-sumber pengetahuan? Murtadha Muththahari mengatakan bahwa sumber pengetahuan tidak hanya rasio dan hati, melainkan alam dan sejarah. Sedangkan M. Taqi Mishbah Yazdi lebih menekankan fakultas indriawi dan akal sebagai sumber pengetahuan. Adapun fakultas hati, dalam mencapai pengetahuan, merupakan ranah ‘irfan bukan filsafat. Agaknya karena alasan inilah bahwa fakultas hati (qalb, fu’ad) merupakan pembahasan ‘irfan bukan filsafat, kita bisa memahami pandangan Yazdi yang tidak begitu menekankan daya hati dalam epistemologi—yang merupakan cabang filsafat. Ada juga yang menganggap bahwa sumber pengetahuan yang hakiki (primer) adalah wahyu sedangkan daya-daya lain lebih sebagai sumber sekunder.
Setidaknya ada tiga sumber pengetahuan yaitu 1) akal; 2) indriawi; dan 3) hati (intusi, qalb, fu’ad). Adapun wahyu, dalam hal ini wahyu yang dikodifikasikan dalam bentuk teks (kitab suci), tidak dimasukkan sebagai sumber pengetahuan. Karena kitab suci merupakan teks, yang akan berbicara ketika seseorang membacanya, maka pemahaman seseorang atas teks-teks suci tersebut yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan (Suteja, 2006).
Begitu juga dengan sejarah maupun alam. Sebab alam untuk menyampaikan pengetahuan membutuhkan penafsiran dari sang pengamat, walaupun struktur pengetahuan tersebut tidak memisahkan antara sang penahu dengan yang diketahui, tetap saja ia meniscayakan kemampuan manusia untuk menangkap pengetahuan tersebut. Alam sebagai alam luaran ditangkap dengan fakultas indriawi, jadi, pemahaman fakultas indriawi yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan atau pemahaman atasnyalah yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan.
a. Indera
Salah satu sumber ilmu pengetahuan adalah indera. Manusia bisa mendapatkan pengetahuan dengan menggunakan indera yang dimilkinya. Dengan mata manusia bisa melihat, dengan hidung kita bisa mencium, dengan kulit kita bisa meraba, dengan telinga kita bisa mendengar dan dengan lidah kita bisa merasakan. Jadi, yang bisa ditangkap oleh indera adalah benda-benda yang sifatnya fisik. Di luar fisik indera tidak mampu menangkapnya atau mengetahuinya.
Aliran dalam filsafat yang mengatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui indera disebut dengan empirisme. Aliran ini berpendapat, bahwa empirisme atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Akal bukan jadi sumber pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang diterapkan adalah induksi. Para Filosof empirisme antara lain John Locke, David Hume dan William James. David Hume termasuk dalam empirisme radikal menyatakan bahwa ide-ide dapat dikembalikan pada sensasi-sensasi (rangsang indera). Pengalaman merupakan ukuran terakhir dari kenyataan. Wiliam James mengatakan bahwa pernyataan tentang fakta adalah hubungan di antara benda, sama banyaknya dengan pengalaman khusus yang diperoleh secara langsung dengan indera.
John Locke dengan teori tabula rasanya mengatakan bahwa manusia itu ketika lahir bagaikan kertas putih tanpa goresan apa pun artinya ia sama sekali belum memiliki pengetahuan. Baru kemudian ia mendapatkan pengetahuan dengan menggunakan panca inderanya untuk mengenali objek-objek yang ada di sekelilingnya. Begitu seterusnya hingga semua pengalaman dalam hidupnya tersimpan dalam memori pikirannya. Metode ilmiah yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan empiris ini adalah eksperimentasi atau kalau di dalam Islam kita kenal metode tajribi.
b. Akal
Akal menjadi sumber ilmu pengetahuan selanjutnya setelah indera. Akal semakin diperhitungkan sebagai sumber pengetahuan karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh indera yang hanya sebatas pada benda-benda fisik saja. Padahal di luar fisik masih terhampar luas samudera pengetahuan. Selain itu juga pengetahuan inderawi cenderung menempatkan antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui sama-sama hadir artinya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Jika demikian sungguh manusia akan mengalami kerepotan. Misalnya jika kita tidak mengenal pengetahuan matematis—sebagai salah satu produk ilmu akal—seseorang akan kesulitan dalam melakukan perhitungan. Tidak mungkin kita menghadirkan benda-benda dalam jumlah yang banyak karena hal itu akan menyulitkan. Maka cukuplah dengan menggantinya dengan konsep-konsep angka dalam matematika.
Akal dengan kemampuannya bisa membedakan antara mana yang salah dan mana yang benar. Selain itu juga akal bekerja dengan menggunakan hukum-hukum logika yang diakui kebenarannya. Akal dengan tegasnya bisa menunjukkan kelemahan empiris sebagai sumber kebenaran. Misalnya ketika sebatang kayu dicelupkan ke dalam air, kayu tersebut oleh indera akan tampak membengkok. Tapi apakah benar kayu tersebut mengalami pembengkokan setelah dicelupkan ke dalam air. Secara rasional tentu saja tidak mungkin melihat karakter kayu itu bukan benda yang mudah bengkok apalagi hanya dicelupkan ke dalam air. Di sinilah akal diakui sebagai sumber kebenaran. Dan tentu saja banyak bukti yang lain. Faham filosofis yang yang menjadikan akal sebagai sumber pengetahuan disebut rasionalisme.
Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai oleh semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang didapat oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran dari pada dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas pertama yang pasti. Metode yang diterapakan adalah deduktif. Teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti. Di antara para filosof rasionalis adalah Rene Descartes, B. Spinoza, dan Leibniz.” Rasionalisme memakai prinsip koherensi dalam pembenarannya. Jadi apa yang benar adalah apa yang koheren dengan akal. Metode ilmiah yang dipakai adalah metode burhani.
Descartes merupakan filosof pendobrak dalam tradisi kefilsafatan Barat. Ia dianggap sebagai bapak filosof modern. Gagasannya yang paling monumental adalah Cogito Ergo Sum “aku berpikir maka aku ada”. Sejak itulah akal benar-benar mendapatkan tempat yang agung sebagai sumber pengetahuan. Manusia mempunyai posisi yang sangat dominan sebagai subjek yang berpikir karena ia mempunayi akal. Ia adalah subjek yang sadar akan keberadaan dirinya sendiri dan keberadaan dunia di sekitarnya.
Berawal dari kesangsian dirinya akan segala hal, ia berusaha membangun landasan filososif tentang kebenaran yang tak kuat. Ia berpikir bahwa segala sesuatu bisa kita sanksikan. Bahkan keberadaan dirinya sendiri ia meragukannya. Tapi ada satu hal yang tidak mungkin bisa ia sanksikan bahwa ia dalam keadaan sanksi itu sendiri. Semakin ia sanksi semakin ia yakin akan kebenaran kesanksian atas dirinya dan semakin pula ia yakin akan keberadaan dirinya. Dari sinilah kemudian Descartes baru mengakui akan keberadaan yang lain. Namun bagaimana jika manusia itu berhenti berpikir, ketika dalam keadaan tidur misalnya? Descartes mengatakan bahwa masih ada Tuhan yang selalu hidup, yang tidak pernah berhenti dari semua aktivitasnya.
c. Intuisi
Jika indera dan akal mampu digunakan untuk memperoleh pengetahuan maka demikian halnya dengan intuisi. Bahkan pengetahuan yang berasal dari intuisi inilah yang diakui kebenarannya. Sebab indera dan akal hanya mampu mendiskripsikan, melukiskan dan menganalisa sedangkan intuisi bisa menghadirkan pengetahuan secara langsung ke dalam diri seseorang. Maka pengetahuan inderawi dan akal bisa disebut sebagai pengetahuan ushuli artinya pengetahuan perolehan yang didapat melalui perantara. Sedangkan pengetahuan intuisi merupakan pengetahuan hudluri karena objek dari ilmu itu sendiri hadir ke dalam diri subjek yang mengetahui tanpa sebuah perantara apapun. Sehingga pengetahuan hushuli cenderung rentan terhadap kesalahan. Misalnya saja ketika ada yang tidak benar dengan indera maupun akal kita. Sebaliknya pengetahuan intuisi tidak diragukan lagi kebenarannya.
Pengetahuan intuisi itu sifatnya penyingkapan atas sebuah realita. Jadi seorang subjek benar-benar merasakan secara langsung apa yang ia alami. Tidak ada pengenalan secara langsung terhadap sebuah realita selain melalui intuisi. Di sinilah letak kevalidan pengetahuan intuisi berbeda dengan pengetahuan inderawi dan akal yang hanya memperlihatkan penampakannya saja.
Di antara para filosof intusionisme—sebuah aliran yang menjadikan intuisi sebagai sumber pengetahuannya—adalah Henry Bergson seorang filosof Perancis. Pengetahuan intuisi ini juga sangat familiar di kalangan para mazhab irfani (kaum sufi). Metode yang dipakai kita kenal dengan metode irfani.
d. Wahyu
Satu-satunya sumber pengetahuan yang tidak bisa diusahakan oleh manusia adalah wahyu. Artinya ia benar-benar bersumber dan pemberian dari Tuhan. Sehingga kebenarannya tidak perlu disanksikan lagi. Biasanya pengetahuan ini disampaikan melalui orang-orang pilihan dan utusan Tuhan dalam bentuk kitab suci.
Dasar dari pengetahuan ini adalah keyakinan dan menjadi salah satu pilar keyakinan beragama. Orang yang beragama harus meyakini kebenaran semua isi kandungan kitab suci. Di dalam kitab suci biasanya terkandung cerita-cerita masa lalu. Berita tentang surga, neraka, pahala dan dosa. Tentu saja yang tak kalah pentingnya adalah kebenaran akan keberadaan Tuhan pencipta alam. Dan masih banyak berita-berita yang lainnya. Wahyu merupakan sumber pengetahuan yang kaya. Metode yang dipakai adalah metode bayani.
2. Kebenaran Pengetahuan
Sebelum membahas tentang teori kebenaran terlebih dahulu penting kiranya untuk mendefinisikan apa arti kebenaran itu sendiri. Kebenaran menjadi isu sentral dalam ilmu pengetahuan karena tujuan dari ilmu pengetahuan adalah untuk mencari kebenaran.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadaminta ditemukan arti kebenaran, yakni keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya). Menurut William James yang dikutip oleh Titus dkk (1984: 344), kebenaran (truth) adalah yang menjadikan berhasil cara kita berpikir dan kebenaran adalah yang menjadikan kita berhasil cara kita bertindak. Sedangkan menurut Louis Kattsoff (1992: 178) ‘kebenaran’ menunjukkan bahwa makna sebuah ‘pernyataan’ artinya, proposisinya sungguh-sungguh merupakan halnya. Bila proposisinya bukan merupakan halnya, maka kita mengatakan bahwa proposisi itu “sesat”. Selanjutnya berkaitan dengan teori kebenaran ada beberapa macam.
a. Teori Koherensi
Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of Philosophy, teori koherensi dijelaskan “….suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi, suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan, “si polan adalah manusia dan si polan pasti mati” adalah benar, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
b. Teori Korespondensi
Teori korespondensi biasanya dianut oleh para pengikut realisme, dan mereka berpegang pada pendirian fakta-fakta. Dan teori ini yang diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut paham ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita objektif. Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri.
Kebenaran teori korespondensi berdasarkan pengalaman inderawi sehingga ada atau tidak adanya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Misalnya pernyataan “Kota Bandung berada di wilayah Jawa Barat” bukan karena pernyataan ini berguna atau apa, tapi karena secara geografis dan berdasarkan pengalaman maupun bukti empiris memang demikian.
c. Teori Kebenaran Pragmatis
Teori kebenaran pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filsafat ini misalnya William James, John Dewey, George Herbert Mead dan C. I. Lewis.
Teori pragmatisme beranggapan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika secara fungsional ia memberikan manfaat. Jadi ukurannya adalah hasil yang didapatkannya. Jika hasilnya menguntungkan maka ia baik dan benar dan sebaliknya jika hasilnya merugikan maka ia buruk dan salah.
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini adalah penganut pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman, pernyataan itu adalah benar. Misalnya pengetahuan naik bus berhenti di posisi kiri. Dengan berhenti di posisi kiri, penumpang bisa turun dengan selamat. Jadi, mengukur kebenaran bukan dilihat karena bus berhenti di posisi kiri, namun penumpang bisa turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.
3. Batasan Pengetahuan
Berbicara tentang masalah ontologi memang sangat luas sekali cakupannya. Ia tidak hanya berbicara soal keberadaan yang sifatnya materi tetapi juga immateri. Kalau wujud yang materi bisa diketahui dengan menggunakan pendekatan empiris maka wujud immateri hanya kita yakini keberadaannya begitu saja. Paling kita percaya karena wujud yang immateri itu—seperti keberadaan Tuhan, surga, neraka dan lainnya—diterangkan dalam kitab suci (wahyu) bagi kalangan yang beragama. Bagi para penganut paham ateisme tentu saja mereka tidak memercayai hal-hal yang bersifat immateri tersebut.
Lantas apakah batas yang merupakan ruang lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik objek ontologis ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan yang lain? Jawaban dari semua pertanyaan itu sangat sederhana. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari hal ihwal surga dan neraka? Jawabnya adalah tidak sebab surga dan neraka berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari sebab musabab kejadian terciptanya manusia? Jawabnya juga adalah tidak sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman kita. Baik hal yang terjadi sebelum hidup maupun yang terjadi setelah kematian kita, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.
Dengan demikian yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah pengetahuan yang hanya bisa dijangkau oleh akal manusia dan bahkan yang bisa diuji kebenarannya secara empiris. Sebuah ilmu harus memenuhi standar metodologis dan bisa diuji dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Jika suatu ilmu itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia bagaimana kita bisa menguji kebenarannya dengan standar metodologis dan metode-metode ilmiah.
Pembatasan ruang lingkup ilmu yang seperti ini nampaknya sangat sempit sekali. Memang hal ini tidak bisa dilepaskan dari tradisi keilmuan yang berkembang di Barat. Ilmu yang dalam bahasa Barat disebut dengan science merupakan suatu pengetahuan yang tidak diragukan lagi kebenarannya karena ia memenuhi standar-standar ilmiah. Ia bisa dibuktikan secara empiris dan bisa di eksperimentasi. Sehingga suatu ilmu yang tidak memenuhi kualifikasi itu bukanlah merupakan ilmu. Oleh sebab itu sesuatu hal yang sifatnya immateri bukan termasuk objek kajian ilmu dan bahkan ia dianggap tidak ada. Seperti itulah asumsi para saintis tentang ilmu terutama yang berkembang di dunia Barat.
4. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Ada berbagai macam kalsifikasi ilmu pengetahuan yang diberikan oleh para ahli. Tapi dalam kesempatan ini saya hanya akan memberikan gambaran klasifikasi ilmu yang disusun oleh Ibn khaldun dalam kitab al-Muqaddimah. Ia memberikan gambaran yang sangat komprehensif mulai dari yang paling utama—dalam arti mencapai tingkat kematangannya—hingga yang paling bawah yaitu ilmu fisik. Ia membagi ilmu ke dalam dua kategori besar yaitu:
I. Ilmu-ilmu Naqliyyah (Transmitted Science) yang terdiri dari:
(1) Tafsir al-Qur’an dan Hadits
(2) Ilmu fiqih yang meliputi fiqh, fara’id dan ushul fiqh
(3) Ilmu Kalam
(4) Tafisr-tafsir ayat Mutasyabihat
(5) Tasawuf
(6) Tabir Mimpi (ta’bir al-Ru’yah)
II. Ilmu-ilmu Aqliyyah (Rational Science)
(1) Ilmu logika, yang terdiri dari
a. Burhan (Demonstrasi)
b. Jadal (Dialektika)
c. Khitbah (Retorik)
d. Syi’r (Puitik)
e. Safsathah (Sofistik)
(2) Fisika, yang terdiri dari:
a. Minerologi
b. Botani
c. Zoologi
d. Kedokteran
e. Ilmu Pertanian
(3) Matematika, yang terdiri dari:
a. Aritmetika
- Kalkulus
- Aljabar
b. Geometri
- Figur Sferik
- Kerucut
- Mekanika
- Surveying
- Optik
c. Astronomi
(4) Metafisika
a. Ontologi
b. Teologi
c. Kosmologi
d. Eskatologi
Selain itu, ada kelompok ilmu-ilmu praktis yang meliputi etika, ekonomi dan politik. Ibn Khaldun juga terkenal sebagai bapak sosiologi Islam yang telah melahirkan sebuah disiplin ilmu sosial yang disebut ilmu budaya atau yang biasa kita sebut “sosiologi” yang meliputi:
1. Sosiologi secara umum
2. Sosiologi politik
3. Sosiologi ekonomi
4. Sosiologi kota
5. Sosiologi ilmu
5. Metode Ilmiah
Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Tentu saja hal ini membawa kita kepada pertanyaan lain, mengapa manusia mulai mengamati sesuatu? Kalau kita telaah lebih lanjut ternyata bahwa kita mulai mengamati objek tertentu kalau kita mempunyai perhatian tertentu terhadap objek tersebut. Perhatian tersebut dinamakan John Dewey sebagai suatu masalah atau kesukaran yang dirasakan bila kita menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang menimbulkan pertanyaan.
Selanjutnya setelah seseorang mendapatkan suatu permasalahan, tahapan selanjutnya adalah berusaha mencoba menyelesaikan permasalahan itu. Hanya saja dalam penyelesaian suatu masalah itu seseorang mempunyai cara yang berbeda-beda. Mungkin itu hanyalah kenyataan yang sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.
Namun dalam tradisi keilmuan kita mengenal apa yang disebut dengan metode ilmiah. Metode ilmiah ini merupakan langkah-langkah yang harus ditempuh supaya mendapatkan ilmu pengetahuan yang valid. Oleh sebab itu metode ilmiah ini terdiri dari beberapa tahapan yang harus dilalui mulai dari awal—yaitu perumusan masalah—hingga tahap yang paling terakhir yaitu penarikan kesimpulan. Jika suatu ilmu didapatkan dengan melalui tahapan-tahapan ini kepastian kebenarannya tidak diragukan lagi.
Metode ilmiah pada dasarnya sama bagi semua disiplin keilmuan baik yang termasuk dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Bila pun terdapat perbedaan dalam kedua kelompok ilmu ini maka perbedaan itu sekedar terletak pada aspek-aspek tekniknya dan bukan pada struktur berpikir atau aspek metodologisnya.
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logic-hypothetico verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya
(2) Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling terkait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
(3) Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan
(4) Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak
(5) Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apkah sebuah hipotesis yang diajukan itu diterima atau ditolak. Kiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari ilmu pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.
Semua itu adalah langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah. Meskipun antara langkah yang satu dengan yang lain saling terkait dan langkah yang awal menjadi dasar bagi langkah yang selanjutnya tapi dalam praktiknya bisa berbeda. Seorang peneliti bisa memulainya dengan menemukan fakta-fakta di lapangan kemudian merumuskannya dan mengambil kesimpulan secara umum (induksi) atau membuktikan premis-premis yang sudah ada kemudian disesuaikan dengan fakta (deduksi).
Dalam sebuah tradisi keilmuan, ilmu bisa berkembang bila dilakukan sebuah proses falsifikasi. Artinya kita sesuaikan antara teori-teori yang ada dengan kenyataan yang ada di lapangan (mencari pembuktian). Artinya jika teori yang kita miliki tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan maka kewajiban kita adalah merumuskan teori baru. Demikian proses itu berlangsung secara terus menerus hingga dicapai kesesuaian antara teori dengan fakta. Dari sinilah sebuh ilmu itu akan selalu mengalami perkembangan. Bukan sebaliknya mencari pembenaran terhadap teori yang sudah ada. Artinya teori yang sudah ada tersebut dianggap sudah benar sehingga tinggal mencari pembenaran fakta-faktanya di lapangan. Jika tidak sesuai antara fakta dengan teori fakta tersebut disingkirkan sampai menemukan fakta yang sesuai dengan teori. Jika demikian maka suatu ilmu itu tidak akan mengalami perkembangan.
C. Aksiologi
Jika ontologi berbicara tentang hakikat yang ada (objek ilmu) dan epistemologi berbicara tentang bagaimana yang ada itu bisa diperoleh (cara memperoleh ilmu) maka aksiologi berkaitan dengan manfaat dari pada ilmu itu sendiri atau kaitan penerapan ilmu itu dengan kaidah-kaidah moral.
Dalam Wikipedia aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang berarti “nilai” dan logos yang berarti “ilmu” atau “teori”. Jadi, aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Adapun Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan bahwa aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nalai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau profesional?
Menurut Brameld, ada tiga bagian yang membedakan di dalam aksiologi. Pertama, moral conduct, tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. Kedua, esthetic expression, ekspresi keindahan yang melahirkan estetika. Ketiga, socio-political life, kehidupan sosio-politik. Bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosio-politik.
1. Teori Nilai (Etika)
Problem aksiologis yang pertama berhubungan dengan nilai. Berkaitan dengan masalah nilai sebenarnya telah dikaji secara mendalam oleh filsafat nilai. Oleh sebab itu dalam kesempatan kali ini akan dibahas beberapa hal saja yang kiranya penting untuk dipaparkan berkaitan dengan masalah nilai. Tema-tema yang muncul seputar masalah ini misalnya apakah nilai itu subjektif atau objektif.
Perdebatan tentang hakikat nilai, apakah ia subjektif atau objektif selalu menarik perhatian. Ada yang berpandangan bahwa nilai itu objektif sehingga ia bersifat universal. Di mana pun tempatnya, kapanpun waktunya, ia akan tetap dan diterima oleh semua orang. Ambil misal mencuri, secara objektif ini salah karena hal itu merupakan perbuatan tercela. Siapa pun orangnya, di mana pun dan kapanpun pasti akan sepakat bahwa mencuri dan perbuatan tercela lainnya adalah salah. Jadi nilai objektif itu terbentuk jika kita memandang dari segi objektivitas nilai.
Sementara jika kita melihat dari segi diri sendiri terbentuklah nilai subjektif. Nilai itu tentu saja bersifat subjektif karena berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang penilaian yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu. Tentunya penilaian setiap orang berbeda-beda tergantung selera, tempat, waktu, dan juga latar belakang budaya, adat, agama, pendidikan, yang memengaruhi orang tersebut. Misalnya bagi orang Hindu tradisi Ngaben (membakar mayat orang mati) merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap orang mati dan bagi mereka hal itu dianggap baik dan telah menjadi tradisi. Namun bagi orang Islam hal itu diangap tidak baik. Berhubungan seksual di luar nikah asal atas dasar suka sama suka hal ini tidak menjadi masalah dan biasa di Barat. Tapi bagi orang Islam hal itu jelas hina, jelek, dan salah. Bagi orang-orang terdahulu, ada beberapa hal yang dianggap tabu, tidak boleh dilakukan dan tidak pantas tapi hal-hal tersebut tidak lagi bermasalah bagi orang-orang sekarang ini. Dari sini bisa dilihat bahwa nilai itu bersifat subjektif tergantung siapa yang menilai, waktu dan tempatnya.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang baik dan buruk bukan salah dan benar. Apa yang baik bagi satu pihak belum tentu baik pula bagi pihak yang lain dan sebaliknya. Apa yang baik juga belum tentu benar misalnya lukisan porno tentu bagus—setiap orang tidak mengingkarinya kecuali mereka yang pura-pura dan sok bermoral—tapi itu tidak benar. Membantu pada dasarnya adalah baik tapi jika membantu orang dalam tindakan kejahatan adalah tidak benar.
Jadi, persoalan nilai itu adalah persoalan baik dan buruk. Penilaian itu sendiri timbul karena ada hubungan antara subjek dengan objek. Tidak ada sesuatu itu dalam dirinya sendiri mempunyai nilai. Susuatu itu baru mempunyai nilai setelah diberikan penilaian oleh seorang subjek kepada objek. Suatu barang tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, atau tidak ada manusia yang melihatnya. “Bunga-bunga itu tetap ada, sekalipun tidaak ada mata manusia yang memandangnya. Tetapi nilai itu tidak ada, kalau manusia tidak ada, atau manusia tidak melihatnya. Bunga-bunga itu tidak indah, kalau tidak ada pandangan manusia yang mengaguminya. Karena, nilai itu baru timbul ketika terjadi hubungan antara manusia sebagai subjek dan barang sebagai objek.”
Namun yang paling penting dari masalah etika adalah implikasi praksisnya. Artinya sesuatu yang buruk itu seharusnya ditinggalkan sedangkan yang baik seharusnya dilaksanakan. Dengan demikian ilmu pengetahuan akan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia bukan justru malah mengancam eksistensi manusia itu sendiri.
Jika kita melihat fenomena yang ada sekarang ini—dunia modern—bagaimana sebuah ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) banyak yang disalahgunakan untuk tujuan-tujuan kejahatan. Misalnya saja dalam kejahatan perang. Banyak kasus yang bisa kita utarakan berkaitan dengan masalah ini seperti Perang Dunia, Perang Teluk, Perang Vietnam hingga perseturuan antara Palestina dan Israel yang tidak ada henti-hentinya. Mereka yang secara persenjataan lebih maju seolah dengan alasan pembelaan membenarkan tindakan pengeboman dan pembantaian masal di mana seringkali korbannya adalah warga sipil. Tindakan seperti ini tentu tidak bisa dibenarkan, tak berperikemanusiaan dan amoral. Selain itu juga misalnya pembuatan senjata nuklir dan senjata pemusnah masal yang jelas sekali mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Itu adalah sekedar contoh dari pemanfaatan teknologi yang tidak tepat guna. Tentunya masih banyak yang lainnya. Oleh sebab itu aksiologi dalam hal ini berfungsi untuk memberikan tuntunan bagaimana suatu hal itu bisa digunakan secara tepat guna.
Memang segala sesuatu itu—termasuk implikasi kemajuan di bidang ilmu pengetahuan—mempunyai dampak negatif dan positif. Tapi sebenarnya dampak yang negatif itu bisa dihindari atau setidaknya diminimalisir. Semua itu adalah demi kepentingan kehidupan manusia itu sendiri.
2. Estetika
Estetika (aesthetica) mula-mula berarti teori tentang pencerapan penghayatan pengalaman indera, sesuai dengan istilah Kant dengan transzendentale asthetik (teori tentang susunan penghayatan panca-indra dalam ruang dan waktu, berlawanan dengan transzendentale logic: pengetahuan rasional dan penuturan). Perlawanan yang dikemukakan oleh Kant itu juga dinyatakan oleh Baumgarten.
Ia menempatkan logika sebagai teori pemakaian pemikiran yang benar dan estetika sebagai teori tentang penghayatan sempurna panca-indera. Masalah yang timbul tentang estetika yang dihadapi oleh banyak ahli pikir semenjak Plato dan Aristoteles ialah pernyataan tentang hakikat keindahan dan seni. Dengan demikian seluruh lapangan nilai, dalam mana keindahan dan seni merupakan bagiannya, dinamakan lapangan estetika, dikordinasikan dengan logika dan estetika. Estetika dalam pengertian baru itu diapakai oleh Kant dan Schiller sehingga menjadi umum di Jerman, meluas ke dalam pemakaian internasional.”
Perdebatan lain yang menarik perhatian berkaitan dengan masalah estetika adalah tentang keindahan, apakah keindahan itu sesuatu yang sifatnya objektif atau subjektif? Jika teori tentang nilai mengatakan bahwa persoalan nilai itu adalah masalah yang subjektif maka sebaliknya dengan persoalan estetika. Persoalan estetika lebih berpihak pada pandangan objektivisme. Artinya bahwa keindahan itu merupakan sifat yang objektif yang dimiliki oleh suatu benda. Ia bukanlah penilain subjektif seseorang. Diantara yang berpandangan seperti ini adalah Hegel. Hegel menganggap bahwa seluruh alam adalah manifestasi dari Cita Mutlak, Absolut Idea. Keindahan adalah pancaran Cita Mutlak melalui saluran indera. Ia adalah sejenis pernyataan ruh. Seni, agama dan filsafat merupakan tingkat-tingkat tertinggi dari perkembangan ruh.
Sedangkan Kant memberikan arah yang baru sama sekali dalam mencari keterangan tentang estetika. Dengan Kant dimulailah studi ilmaih dan psikologi tentang teori estetika. Ia mengatakan dalam The Critique of Judgement bahwa akal memiliki indera ketiga di atas pikiran dan kemauan. Itulah inder rasa. Yang khas pada rasa atau kesenangan estetika ialah ia tidak mengandung kepentingan. Ini membedakannya daripada kesenangan-kesenangan yang lain yang mengandung unsur keinginan atau terlibat dalam kepentingan pribadi atau hayat. Gula misalnya tidaklah indah tapi dikehendaki. Kita menginginkannya untuk menikmatinya. Demikian pula tindakan moral tidal indah. Ia adalah baik. Kita menyetujuinya karena kepadanya kita mempunyai kepentingan. Sebaliknya dengan keindahan. Selalu Ia merupakan objek kepuasan yang tidak mengandung kepentingan, berbeda dari keinginan-keinginan yang lain. Indah, sekalipun ruhaniah adalah objektif. Karena itu ia selalu merupakan objek penilaian. Kita mengatakan: “Barang ini indah”. Hal ini menunjukkan bahwa keindahan itu merupakan sifat objek, tidak hanya sekedar selera yang subjektif. Demikianlah teori Kant.
Di dalam Islam sendiri konsep “keindahan” itu sangat jelas sekali. Sumber keindahan itu bahkan bersumber dari Ilahi. Dikatakan bahwa “Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan”. Demikian juga alam sebagai ciptaannya merupakan sesutau yang indah dan menakjubkan. Bagaimana kita seringkali mengagumi keindahan alam yang ada di sekitar kita. Hal ini merupakan sebuah ekspresi nyata yang sering kali kita ungkapkan. Artinya suatu nilai estetika benar-benar merupakan sesuatu yang objektif bukan subjektif sebagaimana nilai etika.
3. Sosio Politik
Bagian ketiga dari aksiologi adalah tentang sosio-politik. Sosio-politik ini merupakan ilmu praksis. Yang pertama mengenai ilmu sosial, dalam hal ini ia berfungsi sebagai ilmu yang mengatur bagaimana manusia hidup bermasyarakat. Hanya saja ia mempunyai concern yang lebih spesifik yaitu berkaitan dengan masalah tindakan manusia atau bagaimana manusia itu harus bergaul, berinteraksi antara yang satu dengan yang lain. Manusia sebagai makhluk sosial pasti tidak bisa dilepaskan dari manusia yang lain untuk mempertahankan hidup. Artinya mereka saling membutuhkan satu sama lain. Dalam perkembagannya, ilmu sosial ini nantinya akan menjadi disiplin ilmu trsendiri yaitu sosiologi.
Berbicara tentang ilmu sosial tentu juga tidak bisa dilepaskan dari yang namanya ilmu ekonomi karena masalah sosial juga mencakup masalah ekonomi. Misalnya bagaimana manusia membutuhkan keberadaan manusia yang lain untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Ekonomi dalam tradisi ilmiah Islam, sebagaimana dipahami juga di dalam tradisi Yunani, harus dipahami sebagai manajemen rumah tangga (tadbir al-manzil), yang tujuannya adalah memberi bimbingan kepada semua anggota keluarga—terutama anggota keluarganya—tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan pengelolaan rumah tangga. Jadi bukan dalam arti ekonomi makro atau ekonomi perusahaan seperti yang layaknya dipelajari pada masa sekarang di sekolah-sekolah. Karena itu sebagaimana etika memberikan petunjuk-petunjuk praktis bagaimana bertindak sebaik mungkin sebagai individu, demikian juga ekonomi memberikan bimbingan praktis bagaimana bertindak sebaik mungkin sebagai anggota keluarga.”
Berkaitan dengan masalah manajemen rumah tangga juga adalah bagaimana caranya mencari nafkah yang halal, cara menyimpannya, membelanjakannya dan sebagainya. Bahkan juga dibahas bagaimana mencari pembantu yang baik, apa kriteria pembantu yang baik dan bagaimana sikap kita terhadapnya. Yang tidak kalah pentingnya dalam membangun sebuah rumah tangga adalah bagaimana mencari istri yang baik. Karena istri merupakan tiang dari sebuah rumah tangga itu sendiri. Demikian juga dibahas alasan-alasan apa yang menyebabkan seseorang butuh rumah tangga. Apa prinsip-prinsipnya dan hal apa saja yang diperlukan dalam pengelolaan sebuah rumah tangga.
Selanjutnya adalah masalah politik. Sebagaimana etika dan ekonomi, politik juga dipandang dalam tradisi ilmiah Islam, sebagai ilmu praktis, yang tujuannya member bimbingan kepada manusia, bagaimana menjadi manusia sebaik-baiknya sebagai seorang anggota masyarakat atau dengan kata lain sebagai makhluk sosial. Ilmu politik ini terutama penting sekali bagi para pemimpin masyarakat ataupun pemerintah, karena Ia juga memberi kita arahan tentang bagaimana memerintah atau mengelola masyarakat yang dipimpinnya.
Masalah politik juga menyangkut masalah kenegaraan sehingga ia juga berbicara tentang bagaimana mencari seorang pemimpin yang baik dan adil. Apakah kualifikasinya. Demikian juga dibahas tipe-tipe negara. Misalnya ada negara utama dan tidak utama. Negara utama hanya punya satu jenis saja sedangkan negara tidak utama ada yang disebut negara bodoh, negara yang durjana dan negara yang keliru.
III. Penutup
Dari uraian di atas kita bisa mengetahui betapa luasnya objek kajian filsafat mulai dari masalah ontologis, epistemologis hingga aksiologis. Tiga cabang utama filsafat tersebut merupakan masalah yang paling fundamental dalam kehidupan. Ia memberikan sebuah kerangkan berpikir yang sangat sistematis. Hal itu dikarenakan ketiganya merupakan proses berpikir yang diawali dengan pembahasan “Apa itu kebenaran?”, “Bagaimana mendapatkan kebenaran?”, dan “Untuk apa kebenaran tersebut (aplikasinya) dalam kehidupan sehari-hari?”
Hal tersebut mengindikasikan bahwa filsafat layak dikatakan sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu-ilmu lain akan mengalami hambatan tanpa peranan filsafat. Hal itu dikarenakan semua permasalah mendasar dari seluruh ilmu adalah problem filosofis. Hal tersebut harus segera dipecahkan sebagai langkah awal untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sekunder. Dengan kata lain, pada dasarnya semua ilmu pengetahun tidak terlepas dari tiga problem filosofis tersebut (ontologis, epistemologis dan aksiologis). Artinya semua ilmu pengetahuan pasti berbicara tentang apa yang menjadi objek kajiannya, bagaimana cara mengetahuinya dan apa manfaatnya buat kehidupan manusia.
Demikianlah makalah singkat, yang mengangkat tema fundamental dalam dunia filsafat, ini. Kami mengharapkan tulisan ini bisa menjadi bahan pertimbangan demi perkembangan pemikiran manusia. Sehingga, buah pemikiran tersebut dapat melahirkan peradaban besar. Perbedaan pendapat berkaitan dengan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi di kalangan filosof semata karena berdasaekan pada aliran filsafat yang mereka anut. Tetapi, semua itu harus kita apresiasi karena merupakan tahapan pencarian “kebenaran yang hakiki”. Hal itu dikarenakan ilmu pengetahun berbicara tentang peluang dan prediksi. Walaupun, sesungguhnya terdapat kebenaran absolut, tetapi hanya Realitas Absolut yang mengetahui hal itu. Kita sebagai manusia yang memiliki akal dan hati nurani hanya berupaya mencapai kebenaran tersebut sampai akhir hayat dan mengaplikasikannya untuk kemaslahatan umat manusia.
oleh Wa Ode Zainab Zilullah Toresano
I. Pendahuluan
Dalam perjalanan sejarah manusia, pemikiran filosofis senantiasa berkembang. Hal itu dikarenakan pemikiran merupakan hal yang paling mendasar dalam kehidupan manusia, bahkan merupakan ciri khas manusia. Hal tersebut tentunya tidak terlepas dari anugerah akal yang dimiliki oleh manusia. Pemikiran filosofis meniscayakan kelahiran filsafat sebagai induk dari semua ilmu. Di antara corak pemikiran manusia adalah pengetahuan tentang wujud, awal bermulanya hingga akhirnya. Oleh karena itu, buah pemikiran dari manusia melahirkan berbagai macam aliran dalam filsafat yakni, aliran empirisme, rasionalisme, idealisme, pragmatisme, eksistensialisme, positivisme, vitalisme, strukturalisme, post-strukturalisme dan lain-lain.
Selain itu, permasalahan yang menjadi objek kajian (pembahasan) dalam filsafat mengalami perkembangan yang signifikan. Filsafat tidak hanya berhenti pada permasalahan wujud, tetapi juga merambah pada pembahasan berkenaan dengan ilmu. Selain itu, filsafat juga menyentuh tataran praktis, terutama berkaitan dengan moral. Perkembangan tersebut merupakan implikasi logis dari perkembangan pola pikir manusia itu sendiri. Hal tersebut tidak lain merupakan upaya untuk menemukan “kebenaran”.
Pencarian terhadap kebenaran seiring dengan tujuan dari filsafat itu sendiri, yakni untuk mencari kebenaran yang hakiki. Dengan kata lain, mengetahui segala sesuatu yang ada sebagaimana adanya (problem ontologis). Kemudian, timbul pertanyaan setelah mencari “Apa itu kebenaran?” yaitu “Bagaimana kita bisa mendapatkan pengetahuan yang hakiki itu atau sesuatu yang ada sebagaimana adanya (kebenaran)? Persoalan ini merupakan problem epistemologis. Selanjutnya, setelah kita mengetahui kebenran dan cara untuk mendapatkannya, muncul pertanyaan untuk apa pengetahuan tersebut. Dengan kata lain, pemikiran selanjutnya berkaitan dengan pengaplikasian ilmu yang telah didapatkan pada tataran praktis. Ini disebut dengan problem aksiologis, artinya apakah ilmu pengetahuan yang didapat itu bisa diterapkan untuk kemaslahatan umat atau justru sebaliknya, terutama kaitannya dengan moralitas. Singkatnya, wilayah ontologi bertanya tentang “apa” wilayah epistemologi bertanya tentang “bagaimana” sedangkan, wilayah aksiologi bertanya tentang “untuk apa”.
Tiga problem filosofis inilah —ontologi, epistemologi dan aksiologi— yang hingga kini masih menimbulkan perdebatan. Hal itu dikarenakan masing-masing aliran filsafat memiliki sudut pandang tersendiri berkaitan dengan ketiga hal tersebut. Oleh karena itu, pembahasan mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi topic penting pembahasan penting dalam dunia Filsafat. Hal inilah yang menjadi alasan bagi penulis untuk mengetengahkan pembahasan tersebut dalam makalah ini.
II. Pembahasan
Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah). Ilmu merupakan cabang ilmu pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial, namun karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang ditelaah, yakni ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang filsafat yang bersifat otonom. Ilmu memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak terdapat perbedaan yang prinsipil antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial, di mana keduanya mempunyai ciri-ciri keilmuan yang sama.
Filsafat ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti: Objek apa yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan? Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau profesional?
Jika disimpulkan berbagai macam pertanyaan di atas maka yang pertama adalah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan masalah ontologis. Kedua, masuk dalam wilayah kajian epistemologis. Sedangkan yang ketiga adalah problem aksiologis. Semua disiplin ilmu pasti mempunyai tiga landasan ini. Di bawah ini penulis akan memaparkan sekilas pembahasan mengenai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi.
A. Ontologi
“Secara terminologi, ontologi berasal dari bahasa Yunani yaitu on atau ontos yang berarti “ada” dan logos yang berarti “ilmu”. Sedangkan secara terminologi ontologi adalah ilmu tentang hakekat yang ada sebagai yang ada (The theory of being qua being). Sementara itu, Mulyadi Kartanegara menyatakan bahwa ontology diartikan sebagai ilmu tentang wujud sebagai wujud, terkadang disebut sebagai ilmu metafisiska. Metafisika disebut sebagai “induk semua ilmu” karena ia merupakan kunci untuk menelaah pertanyaan paling penting yang dihadapi oleh manusia dalam kehidupan, yakni berkenaan dengan hakikat wujud.
Mulla Shadra berpendapat ‘Tuhan sebagai wujud murni’. Hal ini dibenarkan oleh Suhrawardi bahwa alam merupakan emanasi. Alam merupakan manifestasi (tajalli). Sedang Plato berpendapat bahwa cunia yang sebenarnya adalah dunia ide. Dunia ide adalah sebuah dunia atau pikiran univewrsal (the universal mind). Aristoteles tidak menyangsikan pendapat gurunya (Plato), hanya saja dia lebih percaya bahwa yang kita lihat adalah riil. Sedangkan Thales beranggapan bahwa sumber dari segala sesuatu adalah air. Kita tidak tahu pasti apa yang dimaksudkannya dengan itu, dia mungkin percaya bahwa seluruh kehidupan berasal dari air dan seluruh kehidupan kembali ke air lagi ketika sudah berakhir.
Yang termasuk dalam pembahasan ontologi adalah fisika, matematika dan Metafisika. Fisika sebagai tingkatan yang paling rendah, matematika sebagai tingkatan tengah-tengah sedangkan teologi sebagai tingkatan yang paling tinggi. Alasan pembagian tersebut adalah karena ilmu itu ada kalanya berhubungan dengan sesuatu yang dapat diindera, yaitu sesuatu yang berbenda, yaitu fisika. Ada kalanya berhubungan dengan benda tetapi mempunyai wujud tersendiri, yaitu matematika. Dan ada yang tidak berhubungan dengan suatu benda yaitu metafisika.
Ontologi juga sering diidentikkan dengan metafisika, yang juga disebut dengan proto-filsafat atau filsafat yang pertama atau filsafat ketuhanan. Pembahasannya meliputi hakikat sesuatu, keesaan, persekutuan, sebab dan akibat, substansi dan aksiden, yang tetap dan yang berubah, eksistensi dan esensi, keniscayaan dan kerelatifan, kemungkinan dan ketidakmungkinan, realita, malaikat, pahala, surga, neraka dan dosa.
Dengan kata lain, pembahasan ontologi biasanya diarahkan pada pendeskripsian tentang sifat dasar dari wujud, sebagai kategori paling umum yang meliputi bukan hanya wujud Tuhan, tetapi juga pembagian wujud. Wujud dibagi ke dalam beberapa kategori, yakni wajib (wajib al-wujud), yaitu wujud yang niscaya ada dan selalu aktual, mustahil (mumtani’al wujud) yaitu wujud yang mustahil akan ada baik dalam potensi maupun aktualitas, dan mungkin (mumkin al-wujud), yaitu wujud yang mungkin ada, baik dalam potensi maupun aktualitas ketika diaktualkan ke dalam realitas nyata.
Persoalan tentang ontologi ini menjadi pembahasan utama di bidang filsafat, baik filsafaf kuno maupun modern. Ontologi adalah cabang dari filsafat yang membahas realitas. Realitas adalah kenyataan yang selanjutnya menjurus pada suatu kebenaran. Bedanya, realitas dalam ontologi ini melahirkan pertanyaan-pertanyaan: apakah sesungguhnya realitas yang ada ini; apakah realitas yang tampak ini suatu realita materi saja; adakah sesuatu di ballik realita itu; apakah realita ini terdiri dari satu unsur (monisme), dua unsur (dualisme) atau serba banyak (pluralisme).” Di bawah ini adalah berbagai macam pandangan tentang ontologi.
a. Monisme
Paham ini menganggap bahwa hakikat yang asal dari seluruh kenyataan itu hanya satu saja, tidak mungkin dua. Haruslah satu hakikat saja sebagai sumber yang asal, baik yang asal berupa materi ataupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan perkembangan yang lainnya. Istilah monisme oleh Thomas Davidson disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam dua aliran yaitu materialisme dan idealisme.
Materialisme menganggap bahwa yang benar-benar ada hanyalah materi. Sedangkan ruh atau jiwa bukanlah suatu kenyataan yang bisa berdiri sendiri bahkan ia hanya merupakan akibat saja dari proses gerakan kebenaran dengan salah satu cara tertentu. Materialisme sering juga disebut dengan naturalisme artinya bahwa yang benar-benar ada hanyalah alam saja. Sedangkan yang di luar alam tidaklah ada. Aliran pemikiran ini dipelopori oleh para filosof pra-sokratik seperti Thales, Anaximandros, Anaximenes, Democritos dan lainnya. Thales misalnya beranggapan bahwa unsur dari semua makhluk hidup adalah air. Sedangkan Anaximandros beranggapan bahwa alam semesta ini berasal dari apeiron artinya “yang tak terbatas” yaitu yang bersifat ilahi, abadi, tak terubahkan dan meliputi segalanya. Anaximenes beranggapan lain, bahwa prinsip yang merupakan asal usul segala sesuatu adalah udara. Dan Democritos menganggap bahwa alam ini tersusun dari atom-atom yang tak terhingga jumlahnya.
“Sedangkan sebagai lawan dari materialisme yaitu idealisme yang berarti juga spiritualisme berarti serba cita, sedang spiritualisme berarti serba ruh. Idealisme diambil dari kata “idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu semua berasal dari ruh (sukma) atau sejenis dengannya, yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang. Materi atau zat itu hanyalah suatu jenis dari penjelmaan ruhani.”
“Perintis dari aliran ini adalah Plato yang selanjtunya akan dikembangkan oleh George Barkeley, kemudian oleh Kant, Fichte, Hegel hingga Schelling. Menurut Plato realitas seluruhnya seakan-akan terdiri dari dua “dunia”. Satu “dunia” mencakup benda-benda jasmani yang disajikan kepada panca indera. Pada taraf ini diakui bahwa semuanya tetap berada dalam perubahan. Bunga yang kini bagus, keesokan harinya sudah layu. Lagi pula dunia inderawi ditandai oleh pluralitas. Selain bunga tadi, masih ada banyak hal yang bagus juga. Harus diakui juga bahwa di sini tidak ada sesuatu pun yang sempurna. Di samping “dunia” inderawi itu terdapat satu “dunia” lain, suatu dunia ideal atau dunia yang terdiri atas ide-ide. Dalam dunia ideal ini sama sekali tidak ada perubahan. Semua ide bersifat abadi dan tak terubahkan. Dalam dunia ideal tidak ada banyak hal yang bagus, hanya ada satu ide “yang bagus”. Demikian halnya dengan ide-ide yang lain. Dan setiap ide-ide bersifat sama sekali sempurna.” Oleh sebab itu, menurut Plato yang benar-benar real itu hanyalah idea atau dunia ide sedangkan yang materi merupakan pengejawantahan dari ide.
Dalam dialog Politeia yang sangat masyhur Plato bercerita mitos tentang gua. Ia menggambarkan kehidupan di dunia ini ibarat tahanan dalam gua yang hanya mempunyai pengalaman di dalam gua saja. Sebaliknya mereka tidak mengetahui realitas di luar gua yang nyata adanya. Baru ketika mereka keluar dari gua mereka baru percaya bahwa ada realitas selain pengalaman yang mereka lihat selama di dalam gua. Artinya gua itu adalah dunia yang disajikan kepada panca indera kita. Kita menerima semua pengalaman secara spontan begitu saja. Padahal sebenarnya pengalaman inderawi itu tak lebih dari sekedar bayang-bayang semata.
b. Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa benda terdiri dari dua macam hakikat sebagai asal sumbernya, yaitu hakikat materi dan hakikat ruhani, benda dan ruh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari ruh dan ruh bukan muncul dari benda. Sama-sama hakikat. Kedua macam hakikat itu masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama azali dan abadi. Hubungan keduanya menciptakan kehidupan dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama ini kedua hakikat ini adalah dalam diri manusia.
Tokoh paham ini adalah Rene Descartes. Sebagai pendobrak filsafat modern Descartes mempunyai concern yang jauh lebih rumit. Ia tidak lagi melihat alam yang secara terus-menerus dijadikan objek kajian dalam ilmu pengetahuan. Lebih jauh lagi ia melihat relasi antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui. Dengan demikian ia memosisikan manusia tidak hanya sebagai subjek saja tetapi sekaligus sebagai objek. Pertanyaannya adalah apakah pengetahuan yang kita miliki itu karena memang ada realitas di luar sana atau justru karena faktor keberadaan manusia sebagai subjek yang berpikir. Diktum Descartes Cogito Ergo Sum “aku berpikir maka aku” ada jelas sekali memosisikan manusia sebagai subjek berpikir yang bebas. Karena saya berpikir maka saya menjadi ada demikian realitas yang lain menjadi ada pula. Manusia merupakan subjek yang sadar akan keberadaan dirinya. Paham inilah yang kemudian menjadi cikal bakal aliran eksistensialisme.
c. Pluralisme
Paham ini berpandangan bahwa segala macam bentuk merupakan kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa segenap macam bentuk itu semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictionary of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini tersusun dari unsur banyak, lebih dari satu atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah Anaxagoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang ada itu terbentuk dan terdiri dari empat unsur, yaitu tanah, air, api, dan udara. Tokoh modern aliran ini adalah William James seorang filosof dan psikolog kenamaan asal Amerika. Ia berpendapat bahwa dunia ini terdiri dari banyak kawasan yang berdiri sendiri. Dunia bukanlah suatu universum, melainkan suatu multi-versum. Dunia adalah suatu dunia yang terdiri dari banyak hal yang beraneka ragam atau pluralis.
d. Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternative yang positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev dalam novelnya Fathers and Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di Rusia. Dalam novel itu Bazarov sebagai tokoh sentral mengatakan lemahnya kutukan ketika ia menerima nihilisme. Doktrin tentang nihilisme sebenarnya sudah ada semenjak zaman Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Georgias yang memberika tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu sebenarnya tidak ada. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat diketahui. Ini disebabkan oleh pengindraan itu sumber ilusi. Akal juga tidak mampu meyakinkan kita tentang bahan alam semesta ini karena kita telah dikungkung oleh dilema subjektif. Ketiga, sekalipun realitas itu dapat diketahui ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang lain.
e. Agnostisisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui hakikat benda. Baik hakikat materi maupun hakikat ruhani. Kata agnosticisme berasal dari bahasa Yunani yaitu agnostos yang berarti “unknown”. A artinya not dan no artinya know. Timbulnya aliran ini dikarenakan belum dapatnya orang mengenal dan mampu menerangkan secara konkret akan adanya kenyataan yang berdiri dan dapat kita kenal. Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan mutlak yang bersifat transcendent.” Beberapa tokoh aliran ini misalnya Soren Kiekegaar, Heidegger, Sartre, dan Jasper.
Masalah ontologi ini semakin lama semakin berkembang tidak hanya di dunia filsafat Barat tetapi juga di dunia filsafat Islam. Misalnya dalam Islam kita kenal ada aliran Isyraqi dengan tokohnya Suhrawardi dan Hikmah Mutaalliyah oleh Mulla Sadra. Suhrawardi misalnya mendiskripsikan realitas ini bagaikan cahaya yang mempunyai gradasi dari sumber cahaya itu sendiri yang paling terang hingga yang paling lemah. Sumber cahaya itu adalah Tuhan dan cahaya yang semakin meredup itu bagaikan ciptaan-Nya yang bermacam-macam dari yang paling sempurna hingga yang paling rendah. Sedangkan Mulla Sadra terkenal dengan pandangan Asalat al-Wujud dan Wahdat al-Wujud. Sadra beranggapan bahwa yang primer itu adalah wujud. Tanpa wujud segala sesuatu tidak akan pernah ada. Dan wujud dari semua hal adalah sama. Oleh sebab itu ia meyakini kesatuan wujud (Wahdat al-Wujud). Sedangkan yang membuat sesuatu itu berbeda dengan yang lain adalah karena aksidennya seperti warna dan lainnya.
Masalah ontologis memang menjadi perhatian yang paling serius dalam filsafat ilmu. Sebab ia bertanggungjawab atas kebenaran dari suatu ilmu itu. Oleh sebab itu, ia tidak berbicara tentang apa yang tampak tapi apa yang nyata. Sebab penampakan itu belum tentu sesuai dengan kenyataannya.. Wilayah ontologi bukan berbicara pada tataran penampakan tapi kenyataan. Mampu mengetahui kenyataan yang hakiki itulah sebagai ilmu pengetahuan yang valid. Jadi, pembahasan wujud dalam ontologi merupakan realitas mutlak dan lawan dari ketiadaan. Wujud dalam hal ini mencakup segala hal, mulai dari Dzat Ilahi, realitas-realitas abstrak dan material, baik substansi maupun aksiden dan baik esensi maupun keadaan.
B. Epistemologi
Jika kita berbicara tentang ilmu pengetahuan, apakah anda pernah memikirkan apa itu pengetahuan? Pastinya anda menganggap bahwa saya orang yang aneh. Kalau saya bertanya, apakah kita tahu? Pastinya kita semua tahu. Tentang nama kita sendiri, Jakarta sebagai ibu kota Indonesia, Manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan, dan bahwa 2+2 = 4. Sebuah lompatan drastis yang dilakukan Socrates pada zamannya, dan mungkin sampai sekarang ini masih, dengan pernyataannya “apa yang saya ketahui adalah apa yang tidak saya ketahui” bagaimana akal kita bisa menerima pernyataan yang kontradiksi ini?
Akar permasalahan adalah pengetahuan yang rupanya menuntutut sejenis kepastian tertentu yang tidak dimiliki oleh kepercayaan yang biasa. Tetapi sekali saja anda bertanya, apa yang akan membenarkan kepastian ini, anda mulai merasakan sangatlah sulit menemukan jawabannya.
Mudah mengetahui mengapa begitu banyak pemikir memperdebatkan pengetahuan yang menuntut adanya sebuah kepastian. “Mengetahui” bisa kita sebut dengan kata yang sukses. Demikian dengan kata “belajar”. Untuk mengetahui seseorang telah mempelajari sesuatu, sama denga mengatakan mereka telah mempelajari sesuatu dengan sukses dan kini telah menyerap apa saja yang telah mereka pelajari. (mengatakan mereka sedang belajar jelas tidak menunjukkan bahwa mereka telah menguasai secara sempurna, hanya sedang mengejar kesempurnaan itu. Misal; anda sedang mempelajari aritmatika, apakah bisa dikatakan anda menguasai aritmatika?). kita bisa mengatakan bahwa seseorang telah sukses dengan apa yang telah mereka pelajari apabila mereka dapat menyatakan kembali apa yang telah mereka peroleh di masa lalu.
Epistemologi merupakan tahapan berikutnya setelah pembahasan ontologi dalam filsafat. “Istilah epistemologi dipakai pertama kali oleh J.F. Feriere yang maksudnya untuk membedakan antara dua cabang filsafat, yaitu epistemologi dan ontologi (metafisika umum). Kalau dalam metafisika pertanyaannya adalah apa yang ada itu? Maka pertanyaan dasar dalam epistemologi adalah apa yang dapat saya ketahui?”
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme dan logos. Episteme biasa diartikan pengetahuan atau kebenaran, dan logos diartikan pikiran, kata, atau teori. Epistemologi secara etimologi dapat diartikan teori pengetahuan yang benar dan lazimnya hanya disebut teori pengetahuan yang dalam bahasa Inggrisnya menjadi theory of knowledge.
Dengan kata lain, epistemologi adalah bidang ilmu yang membahas pengetahuan manusia, dalam berbagai jenis dan ukuran kebenarannya. Isu-isu yang akan muncul berkaitan dengan masalah epistemologi adalah bagaimana pengetahuan itu bisa diperoleh? Jika keberadaan itu mempunyai gradasi (tingkatan), mulai dari yang metafisik hingga fisik maka dengan menggunakan apakah kita bisa mengetahuinya? Apakah dengan menggunakan indera sebagaimana kaum empiris, akal sebagaimana kaum rasionalis atau bahkan dengan menggunakan intuisi sebagaimana urafa’ (para sufi)? Oleh sebab itu yang perlu dibahas berkaitan dengan masalah ini adalah tentang teori pengetahuan dan metode ilmiah serta tema-tema yang berkaitan dengan masalah epistemologi.
Berbicara tentang asal-usul pengetahuan maka ilmu pengetahuan ada yang berasal dari manusia dan dari luar manusia. Pengetahuan yang berasal dari manusia meliputi pengetahuan indera, ilmu (akal) dan filsafat. Sedangkan pengetahuan yang berasal dari luar manusia (berasal dari Tuhan) adalah wahyu. Pembahasan epistemologi meliputi sumber-sumber atau teori pengetahuan, kebenaran pengetahuan, batasan dan kemungkinan pengetahuan, serta klasifikasi ilmu pengetahuan.
1. Sumber-Sumber Pengetahuan
Salah satu pokok pembahasan epistemologi adalah mengenai sumber-sumber pengetahuan. Dengan fakultas apa manusia mencapai pengetahuan? Bagaimanakah nilai pengetahuan yang diperoleh manusia? Sampai batasan mana manusia memeroleh pengetahuan? Pertanyaan-pertanyaan ini terkait erat dengan sumber-sumber pengetahuan.
Apa saja sumber-sumber pengetahuan? Murtadha Muththahari mengatakan bahwa sumber pengetahuan tidak hanya rasio dan hati, melainkan alam dan sejarah. Sedangkan M. Taqi Mishbah Yazdi lebih menekankan fakultas indriawi dan akal sebagai sumber pengetahuan. Adapun fakultas hati, dalam mencapai pengetahuan, merupakan ranah ‘irfan bukan filsafat. Agaknya karena alasan inilah bahwa fakultas hati (qalb, fu’ad) merupakan pembahasan ‘irfan bukan filsafat, kita bisa memahami pandangan Yazdi yang tidak begitu menekankan daya hati dalam epistemologi—yang merupakan cabang filsafat. Ada juga yang menganggap bahwa sumber pengetahuan yang hakiki (primer) adalah wahyu sedangkan daya-daya lain lebih sebagai sumber sekunder.
Setidaknya ada tiga sumber pengetahuan yaitu 1) akal; 2) indriawi; dan 3) hati (intusi, qalb, fu’ad). Adapun wahyu, dalam hal ini wahyu yang dikodifikasikan dalam bentuk teks (kitab suci), tidak dimasukkan sebagai sumber pengetahuan. Karena kitab suci merupakan teks, yang akan berbicara ketika seseorang membacanya, maka pemahaman seseorang atas teks-teks suci tersebut yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan (Suteja, 2006).
Begitu juga dengan sejarah maupun alam. Sebab alam untuk menyampaikan pengetahuan membutuhkan penafsiran dari sang pengamat, walaupun struktur pengetahuan tersebut tidak memisahkan antara sang penahu dengan yang diketahui, tetap saja ia meniscayakan kemampuan manusia untuk menangkap pengetahuan tersebut. Alam sebagai alam luaran ditangkap dengan fakultas indriawi, jadi, pemahaman fakultas indriawi yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan atau pemahaman atasnyalah yang dimasukkan sebagai sumber pengetahuan.
a. Indera
Salah satu sumber ilmu pengetahuan adalah indera. Manusia bisa mendapatkan pengetahuan dengan menggunakan indera yang dimilkinya. Dengan mata manusia bisa melihat, dengan hidung kita bisa mencium, dengan kulit kita bisa meraba, dengan telinga kita bisa mendengar dan dengan lidah kita bisa merasakan. Jadi, yang bisa ditangkap oleh indera adalah benda-benda yang sifatnya fisik. Di luar fisik indera tidak mampu menangkapnya atau mengetahuinya.
Aliran dalam filsafat yang mengatakan bahwa manusia memperoleh pengetahuan melalui indera disebut dengan empirisme. Aliran ini berpendapat, bahwa empirisme atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman batiniah maupun lahiriah. Akal bukan jadi sumber pengetahuan, tetapi akal mendapat tugas untuk mengolah bahan-bahan yang diperoleh dari pengalaman. Metode yang diterapkan adalah induksi. Para Filosof empirisme antara lain John Locke, David Hume dan William James. David Hume termasuk dalam empirisme radikal menyatakan bahwa ide-ide dapat dikembalikan pada sensasi-sensasi (rangsang indera). Pengalaman merupakan ukuran terakhir dari kenyataan. Wiliam James mengatakan bahwa pernyataan tentang fakta adalah hubungan di antara benda, sama banyaknya dengan pengalaman khusus yang diperoleh secara langsung dengan indera.
John Locke dengan teori tabula rasanya mengatakan bahwa manusia itu ketika lahir bagaikan kertas putih tanpa goresan apa pun artinya ia sama sekali belum memiliki pengetahuan. Baru kemudian ia mendapatkan pengetahuan dengan menggunakan panca inderanya untuk mengenali objek-objek yang ada di sekelilingnya. Begitu seterusnya hingga semua pengalaman dalam hidupnya tersimpan dalam memori pikirannya. Metode ilmiah yang dipakai untuk memperoleh pengetahuan empiris ini adalah eksperimentasi atau kalau di dalam Islam kita kenal metode tajribi.
b. Akal
Akal menjadi sumber ilmu pengetahuan selanjutnya setelah indera. Akal semakin diperhitungkan sebagai sumber pengetahuan karena keterbatasan kemampuan yang dimiliki oleh indera yang hanya sebatas pada benda-benda fisik saja. Padahal di luar fisik masih terhampar luas samudera pengetahuan. Selain itu juga pengetahuan inderawi cenderung menempatkan antara subjek yang mengetahui dengan objek yang diketahui sama-sama hadir artinya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Jika demikian sungguh manusia akan mengalami kerepotan. Misalnya jika kita tidak mengenal pengetahuan matematis—sebagai salah satu produk ilmu akal—seseorang akan kesulitan dalam melakukan perhitungan. Tidak mungkin kita menghadirkan benda-benda dalam jumlah yang banyak karena hal itu akan menyulitkan. Maka cukuplah dengan menggantinya dengan konsep-konsep angka dalam matematika.
Akal dengan kemampuannya bisa membedakan antara mana yang salah dan mana yang benar. Selain itu juga akal bekerja dengan menggunakan hukum-hukum logika yang diakui kebenarannya. Akal dengan tegasnya bisa menunjukkan kelemahan empiris sebagai sumber kebenaran. Misalnya ketika sebatang kayu dicelupkan ke dalam air, kayu tersebut oleh indera akan tampak membengkok. Tapi apakah benar kayu tersebut mengalami pembengkokan setelah dicelupkan ke dalam air. Secara rasional tentu saja tidak mungkin melihat karakter kayu itu bukan benda yang mudah bengkok apalagi hanya dicelupkan ke dalam air. Di sinilah akal diakui sebagai sumber kebenaran. Dan tentu saja banyak bukti yang lain. Faham filosofis yang yang menjadikan akal sebagai sumber pengetahuan disebut rasionalisme.
Aliran ini berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang diperoleh melalui akallah yang memenuhi syarat yang dituntut oleh sifat umum dan yang perlu mutlak, yaitu syarat yang dipakai oleh semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dapat dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang didapat oleh akal. Akal dapat menurunkan kebenaran dari pada dirinya sendiri, yaitu atas dasar asas pertama yang pasti. Metode yang diterapakan adalah deduktif. Teladan yang dikemukakan adalah ilmu pasti. Di antara para filosof rasionalis adalah Rene Descartes, B. Spinoza, dan Leibniz.” Rasionalisme memakai prinsip koherensi dalam pembenarannya. Jadi apa yang benar adalah apa yang koheren dengan akal. Metode ilmiah yang dipakai adalah metode burhani.
Descartes merupakan filosof pendobrak dalam tradisi kefilsafatan Barat. Ia dianggap sebagai bapak filosof modern. Gagasannya yang paling monumental adalah Cogito Ergo Sum “aku berpikir maka aku ada”. Sejak itulah akal benar-benar mendapatkan tempat yang agung sebagai sumber pengetahuan. Manusia mempunyai posisi yang sangat dominan sebagai subjek yang berpikir karena ia mempunayi akal. Ia adalah subjek yang sadar akan keberadaan dirinya sendiri dan keberadaan dunia di sekitarnya.
Berawal dari kesangsian dirinya akan segala hal, ia berusaha membangun landasan filososif tentang kebenaran yang tak kuat. Ia berpikir bahwa segala sesuatu bisa kita sanksikan. Bahkan keberadaan dirinya sendiri ia meragukannya. Tapi ada satu hal yang tidak mungkin bisa ia sanksikan bahwa ia dalam keadaan sanksi itu sendiri. Semakin ia sanksi semakin ia yakin akan kebenaran kesanksian atas dirinya dan semakin pula ia yakin akan keberadaan dirinya. Dari sinilah kemudian Descartes baru mengakui akan keberadaan yang lain. Namun bagaimana jika manusia itu berhenti berpikir, ketika dalam keadaan tidur misalnya? Descartes mengatakan bahwa masih ada Tuhan yang selalu hidup, yang tidak pernah berhenti dari semua aktivitasnya.
c. Intuisi
Jika indera dan akal mampu digunakan untuk memperoleh pengetahuan maka demikian halnya dengan intuisi. Bahkan pengetahuan yang berasal dari intuisi inilah yang diakui kebenarannya. Sebab indera dan akal hanya mampu mendiskripsikan, melukiskan dan menganalisa sedangkan intuisi bisa menghadirkan pengetahuan secara langsung ke dalam diri seseorang. Maka pengetahuan inderawi dan akal bisa disebut sebagai pengetahuan ushuli artinya pengetahuan perolehan yang didapat melalui perantara. Sedangkan pengetahuan intuisi merupakan pengetahuan hudluri karena objek dari ilmu itu sendiri hadir ke dalam diri subjek yang mengetahui tanpa sebuah perantara apapun. Sehingga pengetahuan hushuli cenderung rentan terhadap kesalahan. Misalnya saja ketika ada yang tidak benar dengan indera maupun akal kita. Sebaliknya pengetahuan intuisi tidak diragukan lagi kebenarannya.
Pengetahuan intuisi itu sifatnya penyingkapan atas sebuah realita. Jadi seorang subjek benar-benar merasakan secara langsung apa yang ia alami. Tidak ada pengenalan secara langsung terhadap sebuah realita selain melalui intuisi. Di sinilah letak kevalidan pengetahuan intuisi berbeda dengan pengetahuan inderawi dan akal yang hanya memperlihatkan penampakannya saja.
Di antara para filosof intusionisme—sebuah aliran yang menjadikan intuisi sebagai sumber pengetahuannya—adalah Henry Bergson seorang filosof Perancis. Pengetahuan intuisi ini juga sangat familiar di kalangan para mazhab irfani (kaum sufi). Metode yang dipakai kita kenal dengan metode irfani.
d. Wahyu
Satu-satunya sumber pengetahuan yang tidak bisa diusahakan oleh manusia adalah wahyu. Artinya ia benar-benar bersumber dan pemberian dari Tuhan. Sehingga kebenarannya tidak perlu disanksikan lagi. Biasanya pengetahuan ini disampaikan melalui orang-orang pilihan dan utusan Tuhan dalam bentuk kitab suci.
Dasar dari pengetahuan ini adalah keyakinan dan menjadi salah satu pilar keyakinan beragama. Orang yang beragama harus meyakini kebenaran semua isi kandungan kitab suci. Di dalam kitab suci biasanya terkandung cerita-cerita masa lalu. Berita tentang surga, neraka, pahala dan dosa. Tentu saja yang tak kalah pentingnya adalah kebenaran akan keberadaan Tuhan pencipta alam. Dan masih banyak berita-berita yang lainnya. Wahyu merupakan sumber pengetahuan yang kaya. Metode yang dipakai adalah metode bayani.
2. Kebenaran Pengetahuan
Sebelum membahas tentang teori kebenaran terlebih dahulu penting kiranya untuk mendefinisikan apa arti kebenaran itu sendiri. Kebenaran menjadi isu sentral dalam ilmu pengetahuan karena tujuan dari ilmu pengetahuan adalah untuk mencari kebenaran.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadaminta ditemukan arti kebenaran, yakni keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya). Menurut William James yang dikutip oleh Titus dkk (1984: 344), kebenaran (truth) adalah yang menjadikan berhasil cara kita berpikir dan kebenaran adalah yang menjadikan kita berhasil cara kita bertindak. Sedangkan menurut Louis Kattsoff (1992: 178) ‘kebenaran’ menunjukkan bahwa makna sebuah ‘pernyataan’ artinya, proposisinya sungguh-sungguh merupakan halnya. Bila proposisinya bukan merupakan halnya, maka kita mengatakan bahwa proposisi itu “sesat”. Selanjutnya berkaitan dengan teori kebenaran ada beberapa macam.
a. Teori Koherensi
Teori koherensi dibangun oleh para pemikir rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Hegel, dan Bradley. Menurut Kattsoff (1986) dalam bukunya Elements of Philosophy, teori koherensi dijelaskan “….suatu proposisi cenderung benar jika proposisi tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita.
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori koherensi, suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap bahwa “semua manusia pasti mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan, “si polan adalah manusia dan si polan pasti mati” adalah benar, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
b. Teori Korespondensi
Teori korespondensi biasanya dianut oleh para pengikut realisme, dan mereka berpegang pada pendirian fakta-fakta. Dan teori ini yang diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut paham ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita objektif. Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri.
Kebenaran teori korespondensi berdasarkan pengalaman inderawi sehingga ada atau tidak adanya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Misalnya pernyataan “Kota Bandung berada di wilayah Jawa Barat” bukan karena pernyataan ini berguna atau apa, tapi karena secara geografis dan berdasarkan pengalaman maupun bukti empiris memang demikian.
c. Teori Kebenaran Pragmatis
Teori kebenaran pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Pierce (1839-1914) dalam sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Our Ideas Clear”. Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filsafat ini misalnya William James, John Dewey, George Herbert Mead dan C. I. Lewis.
Teori pragmatisme beranggapan bahwa sesuatu itu dianggap benar jika secara fungsional ia memberikan manfaat. Jadi ukurannya adalah hasil yang didapatkannya. Jika hasilnya menguntungkan maka ia baik dan benar dan sebaliknya jika hasilnya merugikan maka ia buruk dan salah.
Kattsoff (1986) menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini adalah penganut pragmatisme meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap pengalaman, pernyataan itu adalah benar. Misalnya pengetahuan naik bus berhenti di posisi kiri. Dengan berhenti di posisi kiri, penumpang bisa turun dengan selamat. Jadi, mengukur kebenaran bukan dilihat karena bus berhenti di posisi kiri, namun penumpang bisa turun dengan selamat karena berhenti di posisi kiri.
3. Batasan Pengetahuan
Berbicara tentang masalah ontologi memang sangat luas sekali cakupannya. Ia tidak hanya berbicara soal keberadaan yang sifatnya materi tetapi juga immateri. Kalau wujud yang materi bisa diketahui dengan menggunakan pendekatan empiris maka wujud immateri hanya kita yakini keberadaannya begitu saja. Paling kita percaya karena wujud yang immateri itu—seperti keberadaan Tuhan, surga, neraka dan lainnya—diterangkan dalam kitab suci (wahyu) bagi kalangan yang beragama. Bagi para penganut paham ateisme tentu saja mereka tidak memercayai hal-hal yang bersifat immateri tersebut.
Lantas apakah batas yang merupakan ruang lingkup penjelajahan ilmu? Di manakah ilmu berhenti dan menyerahkan pengkajian selanjutnya kepada pengetahuan lain? Apakah yang menjadi karakteristik objek ontologis ilmu yang membedakan ilmu dari pengetahuan-pengetahuan yang lain? Jawaban dari semua pertanyaan itu sangat sederhana. Ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan berhenti di batas pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari hal ihwal surga dan neraka? Jawabnya adalah tidak sebab surga dan neraka berada di luar jangkauan pengalaman manusia. Apakah ilmu mempelajari sebab musabab kejadian terciptanya manusia? Jawabnya juga adalah tidak sebab kejadian itu berada di luar jangkauan pengalaman kita. Baik hal yang terjadi sebelum hidup maupun yang terjadi setelah kematian kita, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.
Dengan demikian yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah pengetahuan yang hanya bisa dijangkau oleh akal manusia dan bahkan yang bisa diuji kebenarannya secara empiris. Sebuah ilmu harus memenuhi standar metodologis dan bisa diuji dengan menggunakan metode-metode ilmiah. Jika suatu ilmu itu berada di luar jangkauan pengalaman manusia bagaimana kita bisa menguji kebenarannya dengan standar metodologis dan metode-metode ilmiah.
Pembatasan ruang lingkup ilmu yang seperti ini nampaknya sangat sempit sekali. Memang hal ini tidak bisa dilepaskan dari tradisi keilmuan yang berkembang di Barat. Ilmu yang dalam bahasa Barat disebut dengan science merupakan suatu pengetahuan yang tidak diragukan lagi kebenarannya karena ia memenuhi standar-standar ilmiah. Ia bisa dibuktikan secara empiris dan bisa di eksperimentasi. Sehingga suatu ilmu yang tidak memenuhi kualifikasi itu bukanlah merupakan ilmu. Oleh sebab itu sesuatu hal yang sifatnya immateri bukan termasuk objek kajian ilmu dan bahkan ia dianggap tidak ada. Seperti itulah asumsi para saintis tentang ilmu terutama yang berkembang di dunia Barat.
4. Klasifikasi Ilmu Pengetahuan
Ada berbagai macam kalsifikasi ilmu pengetahuan yang diberikan oleh para ahli. Tapi dalam kesempatan ini saya hanya akan memberikan gambaran klasifikasi ilmu yang disusun oleh Ibn khaldun dalam kitab al-Muqaddimah. Ia memberikan gambaran yang sangat komprehensif mulai dari yang paling utama—dalam arti mencapai tingkat kematangannya—hingga yang paling bawah yaitu ilmu fisik. Ia membagi ilmu ke dalam dua kategori besar yaitu:
I. Ilmu-ilmu Naqliyyah (Transmitted Science) yang terdiri dari:
(1) Tafsir al-Qur’an dan Hadits
(2) Ilmu fiqih yang meliputi fiqh, fara’id dan ushul fiqh
(3) Ilmu Kalam
(4) Tafisr-tafsir ayat Mutasyabihat
(5) Tasawuf
(6) Tabir Mimpi (ta’bir al-Ru’yah)
II. Ilmu-ilmu Aqliyyah (Rational Science)
(1) Ilmu logika, yang terdiri dari
a. Burhan (Demonstrasi)
b. Jadal (Dialektika)
c. Khitbah (Retorik)
d. Syi’r (Puitik)
e. Safsathah (Sofistik)
(2) Fisika, yang terdiri dari:
a. Minerologi
b. Botani
c. Zoologi
d. Kedokteran
e. Ilmu Pertanian
(3) Matematika, yang terdiri dari:
a. Aritmetika
- Kalkulus
- Aljabar
b. Geometri
- Figur Sferik
- Kerucut
- Mekanika
- Surveying
- Optik
c. Astronomi
(4) Metafisika
a. Ontologi
b. Teologi
c. Kosmologi
d. Eskatologi
Selain itu, ada kelompok ilmu-ilmu praktis yang meliputi etika, ekonomi dan politik. Ibn Khaldun juga terkenal sebagai bapak sosiologi Islam yang telah melahirkan sebuah disiplin ilmu sosial yang disebut ilmu budaya atau yang biasa kita sebut “sosiologi” yang meliputi:
1. Sosiologi secara umum
2. Sosiologi politik
3. Sosiologi ekonomi
4. Sosiologi kota
5. Sosiologi ilmu
5. Metode Ilmiah
Proses kegiatan ilmiah, menurut Ritchie Calder, dimulai ketika manusia mengamati sesuatu. Tentu saja hal ini membawa kita kepada pertanyaan lain, mengapa manusia mulai mengamati sesuatu? Kalau kita telaah lebih lanjut ternyata bahwa kita mulai mengamati objek tertentu kalau kita mempunyai perhatian tertentu terhadap objek tersebut. Perhatian tersebut dinamakan John Dewey sebagai suatu masalah atau kesukaran yang dirasakan bila kita menemukan sesuatu dalam pengalaman kita yang menimbulkan pertanyaan.
Selanjutnya setelah seseorang mendapatkan suatu permasalahan, tahapan selanjutnya adalah berusaha mencoba menyelesaikan permasalahan itu. Hanya saja dalam penyelesaian suatu masalah itu seseorang mempunyai cara yang berbeda-beda. Mungkin itu hanyalah kenyataan yang sering terjadi di dalam kehidupan sehari-hari.
Namun dalam tradisi keilmuan kita mengenal apa yang disebut dengan metode ilmiah. Metode ilmiah ini merupakan langkah-langkah yang harus ditempuh supaya mendapatkan ilmu pengetahuan yang valid. Oleh sebab itu metode ilmiah ini terdiri dari beberapa tahapan yang harus dilalui mulai dari awal—yaitu perumusan masalah—hingga tahap yang paling terakhir yaitu penarikan kesimpulan. Jika suatu ilmu didapatkan dengan melalui tahapan-tahapan ini kepastian kebenarannya tidak diragukan lagi.
Metode ilmiah pada dasarnya sama bagi semua disiplin keilmuan baik yang termasuk dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Bila pun terdapat perbedaan dalam kedua kelompok ilmu ini maka perbedaan itu sekedar terletak pada aspek-aspek tekniknya dan bukan pada struktur berpikir atau aspek metodologisnya.
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logic-hypothetico verifikasi ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-faktor yang terkait di dalamnya
(2) Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling terkait dan membentuk konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional berdasarkan premis-premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya dengan memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan permasalahan.
(3) Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan
(4) Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak
(5) Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apkah sebuah hipotesis yang diajukan itu diterima atau ditolak. Kiranya dalam proses pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesis maka hipotesis itu diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian dari ilmu pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini harus ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.
Semua itu adalah langkah-langkah yang harus ditempuh dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah. Meskipun antara langkah yang satu dengan yang lain saling terkait dan langkah yang awal menjadi dasar bagi langkah yang selanjutnya tapi dalam praktiknya bisa berbeda. Seorang peneliti bisa memulainya dengan menemukan fakta-fakta di lapangan kemudian merumuskannya dan mengambil kesimpulan secara umum (induksi) atau membuktikan premis-premis yang sudah ada kemudian disesuaikan dengan fakta (deduksi).
Dalam sebuah tradisi keilmuan, ilmu bisa berkembang bila dilakukan sebuah proses falsifikasi. Artinya kita sesuaikan antara teori-teori yang ada dengan kenyataan yang ada di lapangan (mencari pembuktian). Artinya jika teori yang kita miliki tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan maka kewajiban kita adalah merumuskan teori baru. Demikian proses itu berlangsung secara terus menerus hingga dicapai kesesuaian antara teori dengan fakta. Dari sinilah sebuh ilmu itu akan selalu mengalami perkembangan. Bukan sebaliknya mencari pembenaran terhadap teori yang sudah ada. Artinya teori yang sudah ada tersebut dianggap sudah benar sehingga tinggal mencari pembenaran fakta-faktanya di lapangan. Jika tidak sesuai antara fakta dengan teori fakta tersebut disingkirkan sampai menemukan fakta yang sesuai dengan teori. Jika demikian maka suatu ilmu itu tidak akan mengalami perkembangan.
C. Aksiologi
Jika ontologi berbicara tentang hakikat yang ada (objek ilmu) dan epistemologi berbicara tentang bagaimana yang ada itu bisa diperoleh (cara memperoleh ilmu) maka aksiologi berkaitan dengan manfaat dari pada ilmu itu sendiri atau kaitan penerapan ilmu itu dengan kaidah-kaidah moral.
Dalam Wikipedia aksiologi berasal dari bahasa Yunani yaitu axion yang berarti “nilai” dan logos yang berarti “ilmu” atau “teori”. Jadi, aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Adapun Jujun S. Suriasumantri dalam bukunya Filsafat Ilmu mengatakan bahwa aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang nalai secara umum. Sebagai landasan ilmu, aksiologi mempertanyakan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral atau profesional?
Menurut Brameld, ada tiga bagian yang membedakan di dalam aksiologi. Pertama, moral conduct, tindakan moral. Bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu etika. Kedua, esthetic expression, ekspresi keindahan yang melahirkan estetika. Ketiga, socio-political life, kehidupan sosio-politik. Bidang ini melahirkan ilmu filsafat sosio-politik.
1. Teori Nilai (Etika)
Problem aksiologis yang pertama berhubungan dengan nilai. Berkaitan dengan masalah nilai sebenarnya telah dikaji secara mendalam oleh filsafat nilai. Oleh sebab itu dalam kesempatan kali ini akan dibahas beberapa hal saja yang kiranya penting untuk dipaparkan berkaitan dengan masalah nilai. Tema-tema yang muncul seputar masalah ini misalnya apakah nilai itu subjektif atau objektif.
Perdebatan tentang hakikat nilai, apakah ia subjektif atau objektif selalu menarik perhatian. Ada yang berpandangan bahwa nilai itu objektif sehingga ia bersifat universal. Di mana pun tempatnya, kapanpun waktunya, ia akan tetap dan diterima oleh semua orang. Ambil misal mencuri, secara objektif ini salah karena hal itu merupakan perbuatan tercela. Siapa pun orangnya, di mana pun dan kapanpun pasti akan sepakat bahwa mencuri dan perbuatan tercela lainnya adalah salah. Jadi nilai objektif itu terbentuk jika kita memandang dari segi objektivitas nilai.
Sementara jika kita melihat dari segi diri sendiri terbentuklah nilai subjektif. Nilai itu tentu saja bersifat subjektif karena berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang penilaian yang diberikan oleh seseorang terhadap sesuatu. Tentunya penilaian setiap orang berbeda-beda tergantung selera, tempat, waktu, dan juga latar belakang budaya, adat, agama, pendidikan, yang memengaruhi orang tersebut. Misalnya bagi orang Hindu tradisi Ngaben (membakar mayat orang mati) merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap orang mati dan bagi mereka hal itu dianggap baik dan telah menjadi tradisi. Namun bagi orang Islam hal itu diangap tidak baik. Berhubungan seksual di luar nikah asal atas dasar suka sama suka hal ini tidak menjadi masalah dan biasa di Barat. Tapi bagi orang Islam hal itu jelas hina, jelek, dan salah. Bagi orang-orang terdahulu, ada beberapa hal yang dianggap tabu, tidak boleh dilakukan dan tidak pantas tapi hal-hal tersebut tidak lagi bermasalah bagi orang-orang sekarang ini. Dari sini bisa dilihat bahwa nilai itu bersifat subjektif tergantung siapa yang menilai, waktu dan tempatnya.
Berbicara tentang nilai berarti berbicara tentang baik dan buruk bukan salah dan benar. Apa yang baik bagi satu pihak belum tentu baik pula bagi pihak yang lain dan sebaliknya. Apa yang baik juga belum tentu benar misalnya lukisan porno tentu bagus—setiap orang tidak mengingkarinya kecuali mereka yang pura-pura dan sok bermoral—tapi itu tidak benar. Membantu pada dasarnya adalah baik tapi jika membantu orang dalam tindakan kejahatan adalah tidak benar.
Jadi, persoalan nilai itu adalah persoalan baik dan buruk. Penilaian itu sendiri timbul karena ada hubungan antara subjek dengan objek. Tidak ada sesuatu itu dalam dirinya sendiri mempunyai nilai. Susuatu itu baru mempunyai nilai setelah diberikan penilaian oleh seorang subjek kepada objek. Suatu barang tetap ada, sekalipun manusia tidak ada, atau tidak ada manusia yang melihatnya. “Bunga-bunga itu tetap ada, sekalipun tidaak ada mata manusia yang memandangnya. Tetapi nilai itu tidak ada, kalau manusia tidak ada, atau manusia tidak melihatnya. Bunga-bunga itu tidak indah, kalau tidak ada pandangan manusia yang mengaguminya. Karena, nilai itu baru timbul ketika terjadi hubungan antara manusia sebagai subjek dan barang sebagai objek.”
Namun yang paling penting dari masalah etika adalah implikasi praksisnya. Artinya sesuatu yang buruk itu seharusnya ditinggalkan sedangkan yang baik seharusnya dilaksanakan. Dengan demikian ilmu pengetahuan akan memberikan manfaat bagi kehidupan manusia bukan justru malah mengancam eksistensi manusia itu sendiri.
Jika kita melihat fenomena yang ada sekarang ini—dunia modern—bagaimana sebuah ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) banyak yang disalahgunakan untuk tujuan-tujuan kejahatan. Misalnya saja dalam kejahatan perang. Banyak kasus yang bisa kita utarakan berkaitan dengan masalah ini seperti Perang Dunia, Perang Teluk, Perang Vietnam hingga perseturuan antara Palestina dan Israel yang tidak ada henti-hentinya. Mereka yang secara persenjataan lebih maju seolah dengan alasan pembelaan membenarkan tindakan pengeboman dan pembantaian masal di mana seringkali korbannya adalah warga sipil. Tindakan seperti ini tentu tidak bisa dibenarkan, tak berperikemanusiaan dan amoral. Selain itu juga misalnya pembuatan senjata nuklir dan senjata pemusnah masal yang jelas sekali mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Itu adalah sekedar contoh dari pemanfaatan teknologi yang tidak tepat guna. Tentunya masih banyak yang lainnya. Oleh sebab itu aksiologi dalam hal ini berfungsi untuk memberikan tuntunan bagaimana suatu hal itu bisa digunakan secara tepat guna.
Memang segala sesuatu itu—termasuk implikasi kemajuan di bidang ilmu pengetahuan—mempunyai dampak negatif dan positif. Tapi sebenarnya dampak yang negatif itu bisa dihindari atau setidaknya diminimalisir. Semua itu adalah demi kepentingan kehidupan manusia itu sendiri.
2. Estetika
Estetika (aesthetica) mula-mula berarti teori tentang pencerapan penghayatan pengalaman indera, sesuai dengan istilah Kant dengan transzendentale asthetik (teori tentang susunan penghayatan panca-indra dalam ruang dan waktu, berlawanan dengan transzendentale logic: pengetahuan rasional dan penuturan). Perlawanan yang dikemukakan oleh Kant itu juga dinyatakan oleh Baumgarten.
Ia menempatkan logika sebagai teori pemakaian pemikiran yang benar dan estetika sebagai teori tentang penghayatan sempurna panca-indera. Masalah yang timbul tentang estetika yang dihadapi oleh banyak ahli pikir semenjak Plato dan Aristoteles ialah pernyataan tentang hakikat keindahan dan seni. Dengan demikian seluruh lapangan nilai, dalam mana keindahan dan seni merupakan bagiannya, dinamakan lapangan estetika, dikordinasikan dengan logika dan estetika. Estetika dalam pengertian baru itu diapakai oleh Kant dan Schiller sehingga menjadi umum di Jerman, meluas ke dalam pemakaian internasional.”
Perdebatan lain yang menarik perhatian berkaitan dengan masalah estetika adalah tentang keindahan, apakah keindahan itu sesuatu yang sifatnya objektif atau subjektif? Jika teori tentang nilai mengatakan bahwa persoalan nilai itu adalah masalah yang subjektif maka sebaliknya dengan persoalan estetika. Persoalan estetika lebih berpihak pada pandangan objektivisme. Artinya bahwa keindahan itu merupakan sifat yang objektif yang dimiliki oleh suatu benda. Ia bukanlah penilain subjektif seseorang. Diantara yang berpandangan seperti ini adalah Hegel. Hegel menganggap bahwa seluruh alam adalah manifestasi dari Cita Mutlak, Absolut Idea. Keindahan adalah pancaran Cita Mutlak melalui saluran indera. Ia adalah sejenis pernyataan ruh. Seni, agama dan filsafat merupakan tingkat-tingkat tertinggi dari perkembangan ruh.
Sedangkan Kant memberikan arah yang baru sama sekali dalam mencari keterangan tentang estetika. Dengan Kant dimulailah studi ilmaih dan psikologi tentang teori estetika. Ia mengatakan dalam The Critique of Judgement bahwa akal memiliki indera ketiga di atas pikiran dan kemauan. Itulah inder rasa. Yang khas pada rasa atau kesenangan estetika ialah ia tidak mengandung kepentingan. Ini membedakannya daripada kesenangan-kesenangan yang lain yang mengandung unsur keinginan atau terlibat dalam kepentingan pribadi atau hayat. Gula misalnya tidaklah indah tapi dikehendaki. Kita menginginkannya untuk menikmatinya. Demikian pula tindakan moral tidal indah. Ia adalah baik. Kita menyetujuinya karena kepadanya kita mempunyai kepentingan. Sebaliknya dengan keindahan. Selalu Ia merupakan objek kepuasan yang tidak mengandung kepentingan, berbeda dari keinginan-keinginan yang lain. Indah, sekalipun ruhaniah adalah objektif. Karena itu ia selalu merupakan objek penilaian. Kita mengatakan: “Barang ini indah”. Hal ini menunjukkan bahwa keindahan itu merupakan sifat objek, tidak hanya sekedar selera yang subjektif. Demikianlah teori Kant.
Di dalam Islam sendiri konsep “keindahan” itu sangat jelas sekali. Sumber keindahan itu bahkan bersumber dari Ilahi. Dikatakan bahwa “Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan”. Demikian juga alam sebagai ciptaannya merupakan sesutau yang indah dan menakjubkan. Bagaimana kita seringkali mengagumi keindahan alam yang ada di sekitar kita. Hal ini merupakan sebuah ekspresi nyata yang sering kali kita ungkapkan. Artinya suatu nilai estetika benar-benar merupakan sesuatu yang objektif bukan subjektif sebagaimana nilai etika.
3. Sosio Politik
Bagian ketiga dari aksiologi adalah tentang sosio-politik. Sosio-politik ini merupakan ilmu praksis. Yang pertama mengenai ilmu sosial, dalam hal ini ia berfungsi sebagai ilmu yang mengatur bagaimana manusia hidup bermasyarakat. Hanya saja ia mempunyai concern yang lebih spesifik yaitu berkaitan dengan masalah tindakan manusia atau bagaimana manusia itu harus bergaul, berinteraksi antara yang satu dengan yang lain. Manusia sebagai makhluk sosial pasti tidak bisa dilepaskan dari manusia yang lain untuk mempertahankan hidup. Artinya mereka saling membutuhkan satu sama lain. Dalam perkembagannya, ilmu sosial ini nantinya akan menjadi disiplin ilmu trsendiri yaitu sosiologi.
Berbicara tentang ilmu sosial tentu juga tidak bisa dilepaskan dari yang namanya ilmu ekonomi karena masalah sosial juga mencakup masalah ekonomi. Misalnya bagaimana manusia membutuhkan keberadaan manusia yang lain untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Ekonomi dalam tradisi ilmiah Islam, sebagaimana dipahami juga di dalam tradisi Yunani, harus dipahami sebagai manajemen rumah tangga (tadbir al-manzil), yang tujuannya adalah memberi bimbingan kepada semua anggota keluarga—terutama anggota keluarganya—tentang berbagai masalah yang berkaitan dengan pengelolaan rumah tangga. Jadi bukan dalam arti ekonomi makro atau ekonomi perusahaan seperti yang layaknya dipelajari pada masa sekarang di sekolah-sekolah. Karena itu sebagaimana etika memberikan petunjuk-petunjuk praktis bagaimana bertindak sebaik mungkin sebagai individu, demikian juga ekonomi memberikan bimbingan praktis bagaimana bertindak sebaik mungkin sebagai anggota keluarga.”
Berkaitan dengan masalah manajemen rumah tangga juga adalah bagaimana caranya mencari nafkah yang halal, cara menyimpannya, membelanjakannya dan sebagainya. Bahkan juga dibahas bagaimana mencari pembantu yang baik, apa kriteria pembantu yang baik dan bagaimana sikap kita terhadapnya. Yang tidak kalah pentingnya dalam membangun sebuah rumah tangga adalah bagaimana mencari istri yang baik. Karena istri merupakan tiang dari sebuah rumah tangga itu sendiri. Demikian juga dibahas alasan-alasan apa yang menyebabkan seseorang butuh rumah tangga. Apa prinsip-prinsipnya dan hal apa saja yang diperlukan dalam pengelolaan sebuah rumah tangga.
Selanjutnya adalah masalah politik. Sebagaimana etika dan ekonomi, politik juga dipandang dalam tradisi ilmiah Islam, sebagai ilmu praktis, yang tujuannya member bimbingan kepada manusia, bagaimana menjadi manusia sebaik-baiknya sebagai seorang anggota masyarakat atau dengan kata lain sebagai makhluk sosial. Ilmu politik ini terutama penting sekali bagi para pemimpin masyarakat ataupun pemerintah, karena Ia juga memberi kita arahan tentang bagaimana memerintah atau mengelola masyarakat yang dipimpinnya.
Masalah politik juga menyangkut masalah kenegaraan sehingga ia juga berbicara tentang bagaimana mencari seorang pemimpin yang baik dan adil. Apakah kualifikasinya. Demikian juga dibahas tipe-tipe negara. Misalnya ada negara utama dan tidak utama. Negara utama hanya punya satu jenis saja sedangkan negara tidak utama ada yang disebut negara bodoh, negara yang durjana dan negara yang keliru.
III. Penutup
Dari uraian di atas kita bisa mengetahui betapa luasnya objek kajian filsafat mulai dari masalah ontologis, epistemologis hingga aksiologis. Tiga cabang utama filsafat tersebut merupakan masalah yang paling fundamental dalam kehidupan. Ia memberikan sebuah kerangkan berpikir yang sangat sistematis. Hal itu dikarenakan ketiganya merupakan proses berpikir yang diawali dengan pembahasan “Apa itu kebenaran?”, “Bagaimana mendapatkan kebenaran?”, dan “Untuk apa kebenaran tersebut (aplikasinya) dalam kehidupan sehari-hari?”
Hal tersebut mengindikasikan bahwa filsafat layak dikatakan sebagai induk dari semua ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu-ilmu lain akan mengalami hambatan tanpa peranan filsafat. Hal itu dikarenakan semua permasalah mendasar dari seluruh ilmu adalah problem filosofis. Hal tersebut harus segera dipecahkan sebagai langkah awal untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan sekunder. Dengan kata lain, pada dasarnya semua ilmu pengetahun tidak terlepas dari tiga problem filosofis tersebut (ontologis, epistemologis dan aksiologis). Artinya semua ilmu pengetahuan pasti berbicara tentang apa yang menjadi objek kajiannya, bagaimana cara mengetahuinya dan apa manfaatnya buat kehidupan manusia.
Demikianlah makalah singkat, yang mengangkat tema fundamental dalam dunia filsafat, ini. Kami mengharapkan tulisan ini bisa menjadi bahan pertimbangan demi perkembangan pemikiran manusia. Sehingga, buah pemikiran tersebut dapat melahirkan peradaban besar. Perbedaan pendapat berkaitan dengan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi di kalangan filosof semata karena berdasaekan pada aliran filsafat yang mereka anut. Tetapi, semua itu harus kita apresiasi karena merupakan tahapan pencarian “kebenaran yang hakiki”. Hal itu dikarenakan ilmu pengetahun berbicara tentang peluang dan prediksi. Walaupun, sesungguhnya terdapat kebenaran absolut, tetapi hanya Realitas Absolut yang mengetahui hal itu. Kita sebagai manusia yang memiliki akal dan hati nurani hanya berupaya mencapai kebenaran tersebut sampai akhir hayat dan mengaplikasikannya untuk kemaslahatan umat manusia.
Langganan:
Postingan (Atom)